Ati, begitu biasa dipanggil, bersama dua teman, sedang duduk di bawah pohon sawit cukup besar. Mereka bercengkrama sambil menikmati hembusan angin sepoi-sepoi. Sesekali tertawa, saling menertawakan pengalaman masing-masing. Kulit mereka terlihat coklat kusam karena terpaan matahari.
Mereka warga Desa Kulu, Kecamatan Lariang, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat, sehari-hari bekerja mengumpulkan sisa-sisa sawit yang berjatuhan di sekitar perkebunan milik PT Astra Agro Lestari (AAL). Sisa-sisa sawit, biasa disebut berondolan, bernilai rupiah bagi warga.
Menurut Ati, setiap hari menyusuri sepanjang jalan sekitar perkebunan demi memungut sisa-sisa sawit, baik sekitar pohon maupun dari mobil pengangkut. Sehari, mereka bisa mendapatkan 30-40 kg sawit berondolan seharga Rp1.000 per kg. Jadi per hari penghasilan Rp30.000-Rp40.000. “Lumayan untuk menghidupi keluarga,” katanya kepada Mongabay, pertengahan November 2014.
Harga sawit di pengumpul berfluktuasi, terendah Rp700 tertinggi Rp1.200.“Tergantung pengumpul mau beli berapa. Mereka macam-macam. Ada beli harga murah tapi ada yang mau beli mahal.”
Pekerjaan Ati sedikit berisiko, kadang harus kejar-kejaran dengan pengawas perkebunan.“Tidak semua bisa dipungut. Kalau di sini dibolehkan. Kalau punya Unggul dijaga Brimob, tak boleh ambil. Harus sembunyi-sembunyi.”
Kehidupan Ati sedikit menggambarkan kehidupan sosial ekonomi warga di sekitar perkebunan sawit di Mamuju Utara. Kabupaten yang dikenal salah satu sentra sawit di Sulbar ini memiliki luasan lahan hingga puluhan ribu hektar, baik dikelola perusahaan maupun warga.
Di pusat kota Mamuju Utara, Pasangkayu, bahkan ada tugu sawit berbentuk bola dunia dengan tulisan SMART, bentuk menyerupai logo AAL.
Ketika menyusuri sepanjang jalan menuju Matra dari rute Mamuju, Mamuju Tengah hingga memasuki Matra berjarak sekitar 280 km, hamparan kebun sawit di mana-mana. Sepanjang jalan, sepanjang mata memandang hamparan sawit, tidak hanya di tanah datar, juga di pegunungan bahkan sekitar pantai. Hamparan sawah sangat jarang ditemukan tergantikan sawit.
Data perkebunan sawit di Sulbar per 2013, luasan perkebunan sudah tanam cukup besar, mencapai 52.123 hektar. Sekitar 63,27 persen atau 32.978 hektar di Matra, belum termasuk puluhan ribu hektar lain yang belum tergarap.
Taufik, aktivis lingkungan di Matra mengatakan, terdapat dua perusahaan utama sawit di Matra, yaitu AAL dan PT. Unggul Widya Lestari (UWL). AAL memiliki sejumlah anak perusahaan, antara lain PT Letawa, PT Suryaraya Lestari, PT Pasangkayu, PT Mamuang dan PT Tanjung Sarana Lestari.
Data Dinas Kehutanan Mamuju Utara, dari luasdaerah ini 304. 375 hektar, 37% dialokasikan buat HGU. “Dari 37%, 90% HGU perkebunan sawit HGU AAL kala rekomendasi Gubernur Sulsel era 1990-an, dijabat Ahmad Amiruddin.
Isi rekomendasi antara lain menyetujui perkebunan sawit Astra Group 16. 600 hektar, di sebelah utara Sungai Karossa, Kecamatan Budong-Budong, Mamuju. “Dalam perkembangan, menurut informasi, perkebunan AAL mencapai 37.000 hektar.” Sedang UWL mendapatkan HGU pada 2004, dengan luas 30.000 hektar.
Porsi besar kepada perusahaan, memicu ketidakpuasan masyarakat, yang mulai kehabisan lahan. Buntutnya, terjadi perlawanan warga. Contoh, konflik lahan antara warga dengan UWL di Desa Sipakaingan, beberapa waktu lalu.“Sekarang masih memanas. Warga membangun rumah darurat di lahan yang bersengketa.”
Kasus lain, di Pasangkayu. Perusahaan diduga melintas di areal masyarakat adat Bunggu, hingga warga terdesak ke pinggir gunung. Dampaknya, warga Bunggu masuk hutan lindung.
“Seperti afdeling H dan G, masyarakat Bunggu Patado dan Inde bermukim di Desa Ngovi, batas Sulbar dan Sulteng, kehilangan sagu di Joko Tendo, Tapa Bete, dan Kayu Rano.”
Pemerintah Matra, sebenarnya meminta Pasangkayu tidak menggarap pemukiman masyarakat lokal Binggi. Namun, perusahaan tetap menanam dan mendesak masyarakat Binggi hingga ke pinggir gunung.
Persawahan juga berubah menjadi perkebunan sawit. Ini menjadi kekhawatiran Mawardi, Direktur Lembaga Kesatuan Anak Bangsa (eLKAB) Matra.
Antusiasme warga menanam sawit dan mengkonversi sawah terjadi karena janji kesejahteraan. Satu kapling lahan sawit setara dua hektar memberi pendapatan hingga Rp4 juta. Pemerintah bahkan mengklaim penghasilan sawit bisa Rp9 juta per hektar. Cukup menggiurkan warga.
Padahal, kata Mawardi, hitung-hitungan ekonomis jangka panjang, sangat merugikan warga.“Selalu dikatakan sawit produktif hingga 25 tahun, padahal 15 tahun. Setelah itu, bagaimana nasib lahan-lahan mereka?”
Sebagian warga, memang menerima manfaat besar dengan sawit bahkan, menjadi jutawan . Namun, hanya yang memiliki luasan hingga puluhan hektar.
Kekhawatiran lain, keragaman lahan pertanian. Ketika sebagian besar menjadi sawit, produktivitas lahan pertanian lain berkurang.
“Akhirnya warga menggantungkan kebutuhan dari impor atau dari luar. Itu pasti akan mahal.”
Selain sawit, produk lain yang bertahan padi dan kakao dengan jumlah makin berkurang. Tanaman lain belakangan dibudidayakan kelapa untuk kopra.
Menurut dia, pemerintah dan masyarakat harus mulai memperhitungkan dampak lingkungan dengan kebun sawit besar-besaran ini. Sawit tanaman rakus air dan unsur hara tanah.
“Satu pohon membutuhkan suplai air 10 liter per hari. Ini berdampak pada ketersediaan air bagi pertanian lain.”
Taufik menambahkan, pemerintah daerah, tak memberi dorongan kuat pada pola lama hingga mampu memproduksi pangan hingga ketahanan pangan Matra rapuh.
Kekhawatiran Taufik beralasan. Ketika perkebunan besar habis masa HGU dan harus menghentikan produksi, masyarakat yang terlanjur berkebun sawit akan kewalahan dalam pemasaran.
“Tanah-tanah bekas HGU kembali pada negara. Ini bakal melahirkan persoalan agraria serius, biasa antara masyarakat dan negara, masyarakat dengan pemerintah daerah atau antara masyarakat.”
Kerentanan alam oleh perkebunan sawit ini bisa dilihat dari kerusakan ekosistem Sungai Lariang, salah satu sungai terpanjang di Sulawesi, sebagian melintas di HGU perkebunan besar.
“Kini sungai bermuara di Napu, Poso, Sulawesi Tengah, setiap tahun adalah ancaman bagi masyarakat di Lariang, Tikke Raya, Pedongga dan Pasangkayu. Ada ratusan hektar lahan masyarakat tergerus ganasnya arus sungai kala musim hujan.”
Taufik pernah penelusuran di lapangan. Menurut pengakuan masyarakat di Desa Bambakoro dan Desa Kulu, Lariang, ada ratusan hektar lahan mereka hilang oleh banjir bandang karena sungai meluap.
“Walaupun tidak menuding perkebunan sawit sejak 1990-an, namun masyarakat heran. Sebelum ada kebun sawit di seputaran aliran sungai, mereka tidak mengenal banjir bandang.”
Taufik juga menemukan, berbagai kayu lokal berkualitas seperti uru dan palapi, maupun satwa seperti rusa, anoa, monyet dan babi, mulai hilang karena habitat tergerus sawit.
“Sungai Ngovi, Sungai Bayu dan Sungai Moi, muara sejumlah sungai-sungai kecil setiap hari makin dangkal dan mengering. Berbagai jenis ikan hilang seperti, gabus, mas, sidat.”
Sungai-sungai itu dulu juga jalur transportasi masyarakat lokal buat mengambil hasil-hasil hutan berupa umbi-umbian dan buah. Kini sungai makin dangkal dan mengecil, bantaran sungai tidak terpelihara.
Dampak lain sawit yakni limbah pabrik.“Limbah-limbah buangan terus menerus mempengaruhi kondisi tanah, air dan udara di sekitar pabrik.”
Meskipun perusahaan sawit memberi jaminan dengan sistem pengolahan limbah mutakhir, namun tampak pada sungai-sungai di seputar pabrik CPO, seperti di Sungai Bayu, Pedanda, Moi dan Pasangkayu. “Berbagai jenis ikan lokal seperti mas dan sidat atau moa, biasa disebut massapi hilang. Sungai-sungai sepanjang tahun keruh dan coklat.”