Masalah
Suatu
pabrik besar yang membuat kopi instan menghasilkan 20.000 ton (berat kering)
limbah per tahun. Limbah adalah biji kopi gilingan yang sudah digunakan dan
terutama terdiri dari bahan serat (selulosa, lignin,dsbnya) dan minyak yang
tidak larut. Pembuat kopi bermaksud mengevaluasi alternatif yang ramah
lingkungan daripada dibuang ke landfill seperti saat ini. Alternatif tersebut
telah dikerucutkan menjadi 3:
1. Insinerasi
untuk menghasilkan energi (pabrik menggunakan steam yang sangat banyak).
2. Perlakuan
anaerobik untuk menghasilkan metana.
3. Gasifikasi
dilanjutkan dengan Fischer Tropsch untuk menghasilkan hidrokarbon.
Limbah Kopi
Dalam
proses pengolahan biji kopi dihasilkan produk utama (berupa bubuk kopi instan)
dan produk samping (yang disebut limbah kopi). Limbah kopi yang dihasilkan ada
dua yaitu limbah cair dan limbah padat.
Limbah Cair Kopi
Limbah cair proses pengolahan kopi terutama
dihasilkan dari proses pengupasan dan pencucian.
Limbah cair proses pengupasan
diperkirakan mengandung komponen-komponen kimia yang berasal dari kulit, daging
buah dan lendir. Perlakuan minimisasi air pada proses pengolahan kopi bertujuan
untuk meminimumkan volume limbah cair yang dihasilkan. Akan tetapi diperkirakan
mempengaruhi tingkat konsentrasi limbah cair yang dihasilkan. Analisis kualitas
limbah cair hasil perlakuan minimisasi air diperlukan untuk menentukan
penanganan yang tepat agar limbah tidak mencemari lingkungan. Limbah cair
proses pengolahan kopi terutama dihasilkan dari proses pengupasan dan
pencucian. Adapun aliran limbah cair kopi tersebut tidak konstan dengan beban
pencemaran cenderung seragam. Proses pengolahan kopi yang kontinyu tergantung
pada aliran air proses pengupasan (pulping) dan pencucian (washing).
Hasil analisis parameter limbah cair disajikan pada tabel 1.
Tabel
1. Hasil analisis limbah cair perlakuan minimisasi air pengolahan kopi
Limbah cair proses pengupasan dan pencucian
memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda, terutama mengandung padatan
tersuspensi yang berasal dari komponen organik dan anorganik. Limbah cair
proses pengupasan terutama mengandung gula fermentasi, sedangkan limbah cair
proses pencucian lebih kental karena kandungan lendir. Kandungan lendir yang
terdegradasi selama fermentasi ini menyebabkan nilai pH limbah cair pencucian
lebih asam dibandingkan tahap pengupasan. Adapun komponen lain dari air proses
pengupasan adalah asam dan kimia toksik seperti polifenol (tannin dan kafein).
Tabel
2. Perbandingan Karakteristik Limbah Cair Proses Pengolahan Kopi
Limbah cair proses pengolahan kopi
berwarna coklat terutama berasal dari komponen flavonoid kulit buah pada saat
pengupasan. Limbah cair kopi selain berbau tidak sedap, juga akan berubah warna
menjadi hitam beberapa saat kemudian. Flavonoid umum ditemui pada buah-buahan
berwarna lainnya seperti anggur. Menurut Selvamurugan et al. (2010),
warna buah ini sebenarnya merupakan prekursor bagi terbentuknya warna coklat
humus seperti air rawa yang tidak berbahaya bagi spesies akuatik karena tidak
menyebabkan peningkatan nilai BOD ataupun COD. Akan tetapi warna coklat yang
gelap ini dapat berdampak negatif terhadap proses fotosintesis dan transformasi
nutrien pada tanaman air selain menurunkan nilai estetika.
Gambar
1 Lapisan Padatan Limbah Cair Pengolahan Kopi
Tingginya nilai COD dan BOD pada limbah
cair pengolahan kopi terutama pada limbah cair perlakuan minimisasi menunjukkan
besarnya jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik pada
kondisi aerobik, temperatur dan waktu inkubasi yang terstandar (Novita 2012).
Limbah Padat Kopi
Proses pengupasan menghasilkan limbah
padat yang cukup besar berupa kulit dan daging buah kopi. Berdasarkan analisis
neraca massa, persentase limbah padat yang dihasilkan dari proses pengupasan
dapat mencapaikisaran 40-60%. Nilai ini menunjukkan potensi pencemaran yang
besar dari limbah padat jika tidak dimanfaatkan. Pulpa kopi jika tidak diolah
akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan mengundang lalat maupun serangga
lainnya. Selama masa pengolahan biji kopi, limbah pulpa kopi ini akan menumpuk,
menyebabkan gangguan lingkungan seperti bau yang tidak sedap, mengundang lalat
maupun serangga lainnya. Pulpa kopi juga dapat menjadi vektor agen penyakit
ketika dibuang ke badan air dan menyebabkan pencemaran air tanah. Selain itu
drainase dari timbunan pulpa dapat mencemari sumber air di sekitarnya.
Gambar
2. Timbunan Pulpa Kopi
Melalui hasil analisis limbah padat
dapat diketahui potensi pemanfaatan limbah padat proses pengolahan kopi. Hasil
analisis komposisi limbah padat kopi dan beberapa hasil analisis yang mendukung
disajikan pada tabel 3 dan tabel 4:
Tabel
3. Komposisi Limbah Padat Pengolahan Kopi
Tabel
4. Perbandingan komposisi kimia pulpa kopi dari berbagai sumber
(Novita,
2012)
Berikut
adalah berbagai alternatif pengolah limbah kopi
1.
Insinerasi
Untuk Menghasilkan Energi (Pabrik Menggunakan Steam yang Sangat Banyak).
Insinerator
adalah tungku pembakaran untuk mengolah limbah padat, yang mengkonversi materi padat
menjadi materi gas, dan abu, (bottom ash dan fly ash). Insinerasi
merupakan proses pengolahan limbah padat dengan cara pembakaran pada
temperature lebih dari 800 oC untuk mereduksi sampah mudah terbakar (combustible)
yang sudah tidak dapat didaur ulang lagi, membunuh bakteri, virus, dan kimia
toksik.
Proses
insinerasi berlangsung melalui 3 tahap, yaitu:
1) Mengubah
air dalam sampah menjadi uap air, hasilnya limbah menjadi kering yang akan siap
terbakar.
2) Proses
pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperatur belum terlalu
tinggi
3) Proses
pembakaran sempurna. Insinerasi dapat mengurangi berat sampah 70-80 % atau
volume 85-95 %.
Salah satu kelebihan yang dikembangkan
terus dalam teknologi terbaru dari insinerator ini adalah pemanfaatan energi.
Disamping itu sampah dapat dimusnahkan dengan cepat, terkendali dan insitu, serta
tidak memerlukan lahan yang luas seperti
halnya
proses landfill.
Di beberapa negara maju, teknologi
insinerasi sudah diterapkan dengan kapasitas besar, namun dianggap bermasalah
dalam pencemaran, merupakan sumber polusi dioxin dan logam berat, seperti
merkuri dan kadmium, arsen dan kromium di udara. Teknologi ini membutuhkan
biaya investasi, operasi dan pemeliharaan yang cukup tinggi.
Teknologi insinerasi mempunyai beberapa
sasaran, yaitu:
a.
Mengurangi-massa/volume limbah, proses oksidasi
limbah pada pembakaran temperatur tinggi dihasilkan abu, gas dan energi panas.
b.
Mendestruksi komponen berbahaya,
insinerator tidak hanya digunakan untuk membakar sampah kota (sampah rumah
tangga), namun juga digunakan untuk limbah industri (termasuk limbah B3),
limbah medis (limbah infectious). Insinerator juga dipakai untuk limbah
non padat seperti sludge dan limbah cair yang sulit terdegradasi.
c.
Pemanfaatan energi panas, insinerasi
adalah identik dengan pembakaran, yaitu dapat menghasilkan enersi yang dapat
dimanfaatkan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah kuantitas dan
kontinuitas limbah yang akan dipasok. Kuantitas harus cukup untuk menghasilkan
energi secara kontinu agar suplai energi tidak terputus.
(Latief,
2010)
Manfaat Teknologi
Insinerator
- Dapat
mengurangi volume limbah dengan cepat, terkendali dan insitu serta tidak
memerlukan lahan yang luas seperti proses landfill.
- Sisa
pembakaran ini relatif stabil dan tidak dapat membusuk lagi, sehingga lebih
muda penanganannya.
- Mendestruksi
komponen berbahaya.
- Menghasilkan
energi yang dapat dimanfaatkan.
(Latief,
2010)
Dampak
Penggunaan Insinerator
Insinerator merupakan sumber terbesar
polusi dioxin dan logam berat, seperti merkuri (Hg) dan kadmium (Cd) timbal
(Pb), arsen (As) dan kromium (Cr) di udara. Merkuri merupakan racun saraf yang sangat
kuat dan dapat mengganggu sistem syaraf, dan panca indera. Dioxin adalah
polutan paling berbahaya yang dihasilkan dari proses insinerator karena dapat
menyebabkan kanker, kerusakan sistem kekebalan, reproduksi, dan permasalahan dalam
pertumbuhan.
- Menghasilkan
bahan pencemaran dan mengancam kesehatan masyarakat.
-
Memberi beban finansial yang cukup
berat bagi masyarakat yang berada di sekitar lokasi insinerator.
-
Menguras sumber daya finansial
masyarakat setempat.
-
Memboroskan energi dan sumber daya
material.
-
Mengganggu dinamika pembangunan ekonomi
setempat.
-
Memiliki pengalaman operasional
bermasalah di negara-negara industri (Latief, 2010)
2.
Perlakuan
Anaerobik Untuk Menghasilkan Metana.
Proses pengolahan anaerobik
adalah proses pengolahan senyawa – senyawa organik yang terkandung dalam limbah
menjadi gas metana dan karbon dioksida tanpa memerlukan oksigen.
Reaksi sederhana penguraian senyawa organik secara anaerob :
anaerob
Bahan Organik CH4 + CO2+ H2+
N2+ H2O
Mikroorganisme
Sebenarnya penguraian bahan
organik dengan proses anaerobik mempunyai reaksi yang begitu kompleks dan
mungkin terdiri dari ratusan reaksi yang masing- masing mempunyai
mikroorganisme dan enzim aktif yang berbeda.
Penguraian dengan proses
anaerobik secara umum dapat disederhanakan menjadi 2 tahap:
-
Tahap
pembentukan asam
-
Tahap pembentukan
metana
Pembentukan
metana dilakukan oleh bakteri penghasil metana yang terdiri dari sub divisi acetocalstic methane bacteria yang
menguraikan asam asetat menjadi metana dan karbon dioksida. Karbon dioksida dan
hidrogen yang terbentuk dari reaksi penguraian di atas, disintesa oleh bakteri
pembentuk metana menjadi metana dan air.
Proses
pembentukan asam dan gas metana dari suatu senyawa organik sederhana melibatkan
banyak reaksi percabangan. Mosey (1983) yang menggunakan glukosa sebagai sampel
untuk menjelaskan bagaimana peranan keempat kelompok bekteri tersebut
menguraikan senyawa ini menjadi gas metana dan karbon dioksida sebagai berikut
:
1. Asam membentuk bakteri menguraikan senyawa glukosa menjadi :
2. Bakteri Acetogenic
menguraikan asam propionat dan asam butirat menjadi :
3. Acetoclastic
methane menguraikan asam asetat
menjadi :
4. Methane
bacteria mensintesa hidrogen dan
karbondioksida menjadi :
(Manurung, 2004)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Anaerobik
Lingkungan besar pengaruhnya
pada laju pertumbuhan mikroorganisme baik pada proses aerobik maupun anaerobik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses anaerobik antara lain: temperatur, pH,
konsentrasi substrat dan zat beracun.
1. Temperatur
Gas dapat dihasilkan jika
suhu antara 4 - 60°C dan suhu dijaga konstan. Bakteri akan menghasilkan enzim
yang lebih banyak pada temperatur optimum. Semakin tinggi temperatur reaksi
juga akan semakin cepat tetapi bakteri akan semakin berkurang. Beberapa jenis
bakteri dapat bertahan pada rentang temperatur tertentu dapat dillihat pada
tabel berikut :
Proses pembentukan metana
bekerja pada rentang temperatur 30-40°C, tapi dapat juga terjadi pada
temperatur rendah, 4°C. Laju produksi gas akan naik 100-400% untuk setiap
kenaikan temperatur 12°C pada rentang temperatur 4-65°C.
Mikroorganisme yang berjenis
thermophilic lebih sensitif terhadap perubahan temparatur daripada jenis
mesophilic. Pada temperatur 38°C, jenis mesophilic dapat bertahan pada
perubahan temperatur ± 2,8°C.
Untuk jenis thermophilic
pada suhu 49°C, perubahan suhu yang dizinkan ± 0,8°C dan pada temperatur 52°C
perubahan temperatur yang dizinkan ± O,3°C.
2. pH (keasaman)
Bakteri penghasil metana
sangat sensitif terhadap perubahan pH. Rentang pH optimum untuk jenis bakteri
penghasil metana antara 6,4 - 7,4. Bakteri yang tidak menghasilkan metana tidak
begitu sensitif terhadap perubahan pH, dan dapat bekerja pada pH antara 5
hingga 8,5.
Karena proses anaerobik
terdiri dari dua tahap yaitu tahap pambentukan asam dan tahap pembentukan
metana, maka pengaturan pH awal proses sangat penting. Tahap pembentukan asam
akan menurunkan pH awal. Jika penurunan ini cukup besar akan dapat menghambat
aktivitas mikroorganisme penghasil metana. Untuk meningkatkat pH dapat dilakukan
dengan penambahan kapur.
3. Konsentrasi Substrat
Sel mikroorganisme mengandung
Carbon, Nitrogen, Posfor dan Sulfur dengan perbandingan 100 : 10 : 1 : 1. Untuk
pertumbuhan mikroorganisme, unsur-unsur di atas harus ada pada sumber
makanannya (substart). Konsentrasi substrat dapat mempengaruhi proses kerja
mikroorganisme. Kondisi yang optimum dicapai jika jumlah mikroorganisme
sebanding dengan konsentrasi substrat.
Kandungan air dalam substart
dan homogenitas sistem juga mempengaruhi proses kerja mikroorganisme. Karena
kandungan air yang tinggi akan memudahkan proses penguraian, sedangkan
homogenitas sistem membuat kontak antar mikroorganisme dengan substrat menjadi
lebih intim.
4. Zat Baracun
Zat organik maupun
anorganik, baik yang terlarut maupun tersuspensi dapat menjadi penghambat
ataupun racun bagi pertumbuhan mikroorganisme jika terdapat pada konsentrasi
yang tinggi. Untuk logam pads umumnya sifat racun akan semakin bertambah dengan
tingginya valensi dan berat atomnya. Bakteri penghasil metana lebih sensitif
terhadap racun daripada bakteri penghasil asam (Manurung, 2004).
Manfaat
Perlakuan Anaerobik
-
Dapat
mengolah bahan organik yang lebih tinggi.
-
Dapat
mengolah senyawa organik terlarut maupun tersuspensi.
-
Produk biomassa
yang dihasilkan lebih kecil.
-
Lahan yang
digunakan lebih sempit.
-
Gas yang
dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar.
(Manurung, 2004).
Kekurangan
Perlakuan Anaerobik
-
Membutuhkan
waktu tinggal yang cukup lama untuk menghasilkan produk.
-
Sangat
sensitif terhadap perubahan temperatur.
-
Karena merupakan
proses fermentasi menggunakan bakteri, perlu diperhatikan kondisi-kondisi
fermentasi agar bakteri tetap hidup dan membantu pembentukan produk.
-
Membutuhkan
senyawa alkalinitas sebagai nutrisi bagi mikroba.
-
Menghasilkan
senyawa beracun seperti H2S.
(Hasanah, 2012)
3. Gasifikasi dilanjutkan
dengan Fischer Tropsch untuk menghasilkan hidrokarbon
Gambar Skema Sistem Integrasi
Gasifikasi Biomassa dengan Sintesis Fischer Tropsch (Yulistiani, 2009)
Gasifikasi adalah proses konversi bahan
bakar yang mengandung karbon menjadi gas yang memiliki nilai bakar dengan cara
oksidasi parsial pada temperatur tinggi. Proses gasifikasi ini dilakukan dalam
reaktor gasifikasi atau biasa disebut gasifier dan gas hasilnya disebut
gas produser. Gasifier merupakan alat yang relatif sederhana karena
mekanisme operasinya, seperti pengumpanan dan pembersihan gas hasil yang cukup
mudah.
Proses gasifikasi biomassa dapat
dilakukan baik secara langsung (menggunakan udara atau oksigen untuk
membangkitkan panas melalui reaksi eksotermis), maupun tidak langsung (mentransfer
panas ke dalam reaktor dari luar) (Reed, 1988). Gasifikasi umumnya terdiri dari
4 zona proses, yaitu pengeringan, pirolisis, oksidasi dan reduksi. Proses pengeringan,
pirolisis dan reduksi bersifat endotermis, sementara proses oksidasi yang
bersifat eksotermis berfungsi sebagai penyedia panas bagi ketiga proses
tersebut (Arisanty, dkk., 2009).
Proses Gasifikasi, yaitu:
1. Pengeringan
Pada pengeringan, kandungan air
pada bahan bakar padat diuapkan oleh panas yang diserap proses oksidasi.
2. Pirolisis
Pirolisis atau devolatilisasi disebut
juga sebagai gasifikasi parsial. Suatu rangkaian proses fisik dan kimia terjadi
selama proses pirolisis yang dimulai secara lambat pada T < 350 °C dan
terjadi secara cepat pada T > 700 °C. Komposisi produk yang tersusun
merupakan fungsi temperatur, tekanan, dan komposisi gas selama pirolisis berlangsung.
Proses pirolisis dimulai pada temperatur sekitar 230 °C, ketika komponen yang
tidak stabil secara termal, seperti lignin pada biomassa dan volatile
matters pada batubara, pecah dan menguap bersamaan dengan komponen lainnya.
Produk cair yang menguap mengandung tar dan PAH (polyaromatic hydrocarbon).
Produk pirolisis umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu gas ringan (H2,
CO, CO2, H2O, dan CH4), tar, dan arang.
3. Oksidasi
Oksidasi atau pembakaran arang merupakan
reaksi terpenting yang terjadi di dalam gasifier. Proses ini menyediakan
seluruh energi panas yang dibutuhkan pada reaksi endotermik. Oksigen yang
dipasok ke dalam gasifier bereaksi dengan substansi yang mudah terbakar.
Hasil reaksi tersebut adalah CO2 dan H2O yang secara berurutan
direduksi ketika kontak dengan arang yang diproduksi pada pirolisis.
4. Reduksi
Reduksi atau gasifikasi melibatkan
suatu rangkaian reaksi endotermik yang panasnya disuplai dari panas reaksi
pembakaran. Produk yang dihasilkan pada proses ini adalah gas bakar, seperti H2,
CO, dan CH4.
Reaksi berikut
ini merupakan empat reaksi yang umum terjadi pada gasifikasi:
Ø
Water-gas reaction.
Water-gas
reaction merupakan reaksi oksidasi parsial karbon
oleh kukus yang dapat berasal dari bahan bakar padat itu sendiri (hasil
pirolisis) maupun dari sumber yang berbeda, seperti uap air yang dicampur dengan
udara dan uap yang diproduksi dari penguapan air. Reaksi yang terjadi pada water-gas
reaction adalah:
C + H2O -> H2
+ CO – 131.38 kJ/kg mol karbon
Ø
Boudouard reaction
Boudouard
reaction merupakan reaksi antara karbondioksida
yang terdapat di dalam gasifier dengan arang untuk menghasilkan CO. Reaksi yang
terjadi pada Boudouard reaction adalah:
CO2 + C -> 2CO –
172.58 kJ/mol karbon
Ø
Shift conversion
Shift conversion
merupakan reaksi reduksi karbon monoksida oleh kukus untuk memproduksi
hidrogen. Reaksi ini dikenal sebagai water-gas
shift yang menghasilkan peningkatan perbandingan hidrogen terhadap karbon monoksida
pada gas produser. Reaksi ini digunakan pada pembuatan gas sintetik. Reaksi
yang terjadi adalah sebagai berikut:
CO + H2O -> CO2
+ H2 – 41.98 kJ/mol
Ø
Methanation
Methanation
merupakan reaksi pembentukan gas metan. Reaksi yang terjadi pada methanation
adalah:
C
+ 2H2 -> CH4 + 74.90 kJ/mol karbon
(Arisanty,
dkk., 2009)
Manfaat Gasifikasi
-
Dibandingkan proses
insinerasi, proses gasifikasi menghasilkan konversi karbon yang lebih tinggi
hingga mencapai 99%.
-
Tidak menghasilkan
senyawa dioxin, sulfur dan senyawa-senyawa berbahaya lainnya, karena sudah
dihilangkan pada proses sintesis Fischer Tropsch.
-
Proses sintesis Fischer
Tropsch menggunakan katalis yang mudah diperoleh.
-
Alat yang digunakan
relatif sederhana karena mekanisme operasinya seperti pengumpanan dan
pembersihan gas hasil yang cukup mudah.
-
Menghasilkan senyawa
hidrokarbon cair yang dapat digunakan lebih lanjut untuk menghasilkan bahan
bakar diesel dan pembangkit listrik.
(Arisanty,
dkk., 2009)
Kekurangan Gasifikasi
-
Keberhasilan operasi
gasifikasi pada penerapannya tidak mudah. Hal ini karena fenomena termodinamika
operasi gasifier belum begitu
dipahami secara mendalam, sehingga masih banyak hal yang memerlukan pengkajian.
-
Penerapan teknologi ini
membutuhkan investasi yang besar, sehingga perlu peninjauan ulang untuk
diterapkan.
(Arisanty,
dkk., 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Arisanty, Yovita Reiny., Yuni Kusumastuti dan Annisa
Widyanti Utami. 2009. Gasifikasi Limbah
Kulit Biji Kopi Dalam Reaktor Fixed
Bed Dengan Sistem Inverted
Downdraft Gasifier : Distribusi Suhu. Jurusan
Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.
Hasanah.
2012. Pembuatan Biogas dengan Proses
Anaerobik. Institut Pertanian Bogor. Scientific Repository.
Manurung,
Renita. 2004. Proses Anaerobik Sebagai
Alternatif Untuk Mengolah Limbah Sawit. Program Studi Teknik Kimia.
Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara.
Latief,
A. Sutowo. 2010. Manfaat dan Dampak
Penggunaan Insinerator Terhadap Lingkungan. Politeknik Negeri Semarang. Jurnal
Teknis. Vol 5. No 1. Hal : 20- 22.
Novita,
Elida. 2012. Desain Proses Pengolahan Pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi
Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Yulistiani, Fitria. 2009. Kajian Tekno Ekonomi Pabrik Konversi Biomasa Menjadi Bahan Bakar
Fischer Tropsch Melalui Proses Gasifikasi. Institut Teknologi Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar