Sabtu, 26 Oktober 2013

PERANCANGAN PRODUK




Masalah
Suatu pabrik besar yang membuat kopi instan menghasilkan 20.000 ton (berat kering) limbah per tahun. Limbah adalah biji kopi gilingan yang sudah digunakan dan terutama terdiri dari bahan serat (selulosa, lignin,dsbnya) dan minyak yang tidak larut. Pembuat kopi bermaksud mengevaluasi alternatif yang ramah lingkungan daripada dibuang ke landfill seperti saat ini. Alternatif tersebut telah dikerucutkan menjadi 3:
1.    Insinerasi untuk menghasilkan energi (pabrik menggunakan steam yang sangat banyak).
2.    Perlakuan anaerobik untuk menghasilkan metana.
3.    Gasifikasi dilanjutkan dengan Fischer Tropsch untuk menghasilkan hidrokarbon.

Limbah Kopi
Dalam proses pengolahan biji kopi dihasilkan produk utama (berupa bubuk kopi instan) dan produk samping (yang disebut limbah kopi). Limbah kopi yang dihasilkan ada dua yaitu limbah cair dan limbah padat.

Limbah Cair Kopi
Limbah cair proses pengolahan kopi terutama dihasilkan dari proses pengupasan dan pencucian.
Limbah cair proses pengupasan diperkirakan mengandung komponen-komponen kimia yang berasal dari kulit, daging buah dan lendir. Perlakuan minimisasi air pada proses pengolahan kopi bertujuan untuk meminimumkan volume limbah cair yang dihasilkan. Akan tetapi diperkirakan mempengaruhi tingkat konsentrasi limbah cair yang dihasilkan. Analisis kualitas limbah cair hasil perlakuan minimisasi air diperlukan untuk menentukan penanganan yang tepat agar limbah tidak mencemari lingkungan. Limbah cair proses pengolahan kopi terutama dihasilkan dari proses pengupasan dan pencucian. Adapun aliran limbah cair kopi tersebut tidak konstan dengan beban pencemaran cenderung seragam. Proses pengolahan kopi yang kontinyu tergantung pada aliran air proses pengupasan (pulping) dan pencucian (washing). Hasil analisis parameter limbah cair disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis limbah cair perlakuan minimisasi air pengolahan kopi
Limbah cair proses pengupasan dan pencucian memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda, terutama mengandung padatan tersuspensi yang berasal dari komponen organik dan anorganik. Limbah cair proses pengupasan terutama mengandung gula fermentasi, sedangkan limbah cair proses pencucian lebih kental karena kandungan lendir. Kandungan lendir yang terdegradasi selama fermentasi ini menyebabkan nilai pH limbah cair pencucian lebih asam dibandingkan tahap pengupasan. Adapun komponen lain dari air proses pengupasan adalah asam dan kimia toksik seperti polifenol (tannin dan kafein).
Tabel 2. Perbandingan Karakteristik Limbah Cair Proses Pengolahan Kopi
Limbah cair proses pengolahan kopi berwarna coklat terutama berasal dari komponen flavonoid kulit buah pada saat pengupasan. Limbah cair kopi selain berbau tidak sedap, juga akan berubah warna menjadi hitam beberapa saat kemudian. Flavonoid umum ditemui pada buah-buahan berwarna lainnya seperti anggur. Menurut Selvamurugan et al. (2010), warna buah ini sebenarnya merupakan prekursor bagi terbentuknya warna coklat humus seperti air rawa yang tidak berbahaya bagi spesies akuatik karena tidak menyebabkan peningkatan nilai BOD ataupun COD. Akan tetapi warna coklat yang gelap ini dapat berdampak negatif terhadap proses fotosintesis dan transformasi nutrien pada tanaman air selain menurunkan nilai estetika.
Gambar 1 Lapisan Padatan Limbah Cair Pengolahan Kopi
Tingginya nilai COD dan BOD pada limbah cair pengolahan kopi terutama pada limbah cair perlakuan minimisasi menunjukkan besarnya jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik pada kondisi aerobik, temperatur dan waktu inkubasi yang terstandar (Novita 2012).

Limbah Padat Kopi
Proses pengupasan menghasilkan limbah padat yang cukup besar berupa kulit dan daging buah kopi. Berdasarkan analisis neraca massa, persentase limbah padat yang dihasilkan dari proses pengupasan dapat mencapaikisaran 40-60%. Nilai ini menunjukkan potensi pencemaran yang besar dari limbah padat jika tidak dimanfaatkan. Pulpa kopi jika tidak diolah akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan mengundang lalat maupun serangga lainnya. Selama masa pengolahan biji kopi, limbah pulpa kopi ini akan menumpuk, menyebabkan gangguan lingkungan seperti bau yang tidak sedap, mengundang lalat maupun serangga lainnya. Pulpa kopi juga dapat menjadi vektor agen penyakit ketika dibuang ke badan air dan menyebabkan pencemaran air tanah. Selain itu drainase dari timbunan pulpa dapat mencemari sumber air di sekitarnya.
Gambar 2. Timbunan Pulpa Kopi
Melalui hasil analisis limbah padat dapat diketahui potensi pemanfaatan limbah padat proses pengolahan kopi. Hasil analisis komposisi limbah padat kopi dan beberapa hasil analisis yang mendukung disajikan pada tabel 3 dan tabel 4:
Tabel 3. Komposisi Limbah Padat Pengolahan Kopi
Tabel 4. Perbandingan komposisi kimia pulpa kopi dari berbagai sumber
(Novita, 2012)
Berikut adalah berbagai alternatif pengolah limbah kopi
1.    Insinerasi Untuk Menghasilkan Energi (Pabrik Menggunakan Steam yang Sangat Banyak).
Insinerator adalah tungku pembakaran untuk mengolah limbah padat, yang mengkonversi materi padat menjadi materi gas, dan abu, (bottom ash dan fly ash). Insinerasi merupakan proses pengolahan limbah padat dengan cara pembakaran pada temperature lebih dari 800 oC untuk mereduksi sampah mudah terbakar (combustible) yang sudah tidak dapat didaur ulang lagi, membunuh bakteri, virus, dan kimia toksik.
Proses insinerasi berlangsung melalui 3 tahap, yaitu:
1) Mengubah air dalam sampah menjadi uap air, hasilnya limbah menjadi kering yang akan siap terbakar.
2) Proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperatur belum terlalu tinggi
3) Proses pembakaran sempurna. Insinerasi dapat mengurangi berat sampah 70-80 % atau volume 85-95 %.
Salah satu kelebihan yang dikembangkan terus dalam teknologi terbaru dari insinerator ini adalah pemanfaatan energi. Disamping itu sampah dapat dimusnahkan dengan cepat, terkendali dan insitu, serta tidak memerlukan lahan yang luas seperti
halnya proses landfill.
Di beberapa negara maju, teknologi insinerasi sudah diterapkan dengan kapasitas besar, namun dianggap bermasalah dalam pencemaran, merupakan sumber polusi dioxin dan logam berat, seperti merkuri dan kadmium, arsen dan kromium di udara. Teknologi ini membutuhkan biaya investasi, operasi dan pemeliharaan yang cukup tinggi.
Teknologi insinerasi mempunyai beberapa sasaran, yaitu:
a. Mengurangi-massa/volume limbah, proses oksidasi limbah pada pembakaran temperatur tinggi dihasilkan abu, gas dan energi panas.
b. Mendestruksi komponen berbahaya, insinerator tidak hanya digunakan untuk membakar sampah kota (sampah rumah tangga), namun juga digunakan untuk limbah industri (termasuk limbah B3), limbah medis (limbah infectious). Insinerator juga dipakai untuk limbah non padat seperti sludge dan limbah cair yang sulit terdegradasi.
c. Pemanfaatan energi panas, insinerasi adalah identik dengan pembakaran, yaitu dapat menghasilkan enersi yang dapat dimanfaatkan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah kuantitas dan kontinuitas limbah yang akan dipasok. Kuantitas harus cukup untuk menghasilkan energi secara kontinu agar suplai energi tidak terputus.
(Latief, 2010)

Manfaat Teknologi Insinerator
-       Dapat mengurangi volume limbah dengan cepat, terkendali dan insitu serta tidak memerlukan lahan yang luas seperti proses landfill.
-       Sisa pembakaran ini relatif stabil dan tidak dapat membusuk lagi, sehingga lebih muda penanganannya.
-       Mendestruksi komponen berbahaya.
-       Menghasilkan energi yang dapat dimanfaatkan.
(Latief, 2010)

Dampak Penggunaan Insinerator
Insinerator merupakan sumber terbesar polusi dioxin dan logam berat, seperti merkuri (Hg) dan kadmium (Cd) timbal (Pb), arsen (As) dan kromium (Cr) di udara. Merkuri merupakan racun saraf yang sangat kuat dan dapat mengganggu sistem syaraf, dan panca indera. Dioxin adalah polutan paling berbahaya yang dihasilkan dari proses insinerator karena dapat menyebabkan kanker, kerusakan sistem kekebalan, reproduksi, dan permasalahan dalam pertumbuhan.
-       Menghasilkan bahan pencemaran dan mengancam kesehatan masyarakat.
-    Memberi beban finansial yang cukup berat bagi masyarakat yang berada di sekitar lokasi insinerator.
-    Menguras sumber daya finansial masyarakat setempat.
-    Memboroskan energi dan sumber daya material.
-    Mengganggu dinamika pembangunan ekonomi setempat.
-    Memiliki pengalaman operasional bermasalah di negara-negara industri (Latief, 2010)

2.    Perlakuan Anaerobik Untuk Menghasilkan Metana.
Proses pengolahan anaerobik adalah proses pengolahan senyawa – senyawa organik yang terkandung dalam limbah menjadi gas metana dan karbon dioksida tanpa memerlukan oksigen.
Mekanisme Rooksi Pengolahan Limbah Cair dengan Proses Anaerobik
Penguraian senyawa organik seperti karbohidrat, lemak dan protein yang terdapat dalam limbah cair dengan proses anaerobik akan menghasilkan biogas yang mengandung metana (50-70%), CO2 (25-45%) dan sejumlah kecil nitrogen, hidrogen dan hidrogen sulfida.
Reaksi sederhana penguraian senyawa organik secara anaerob :
anaerob
Bahan Organik                                                    CH4 + CO2+ H2+ N2+ H2O
                                    Mikroorganisme

Sebenarnya penguraian bahan organik dengan proses anaerobik mempunyai reaksi yang begitu kompleks dan mungkin terdiri dari ratusan reaksi yang masing- masing mempunyai mikroorganisme dan enzim aktif yang berbeda.
Penguraian dengan proses anaerobik secara umum dapat disederhanakan menjadi 2 tahap:
-       Tahap pembentukan asam
-       Tahap pembentukan metana
Pembentukan metana dilakukan oleh bakteri penghasil metana yang terdiri dari sub divisi acetocalstic methane bacteria yang menguraikan asam asetat menjadi metana dan karbon dioksida. Karbon dioksida dan hidrogen yang terbentuk dari reaksi penguraian di atas, disintesa oleh bakteri pembentuk metana menjadi metana dan air.
Proses pembentukan asam dan gas metana dari suatu senyawa organik sederhana melibatkan banyak reaksi percabangan. Mosey (1983) yang menggunakan glukosa sebagai sampel untuk menjelaskan bagaimana peranan keempat kelompok bekteri tersebut menguraikan senyawa ini menjadi gas metana dan karbon dioksida sebagai berikut :
1.    Asam membentuk bakteri menguraikan senyawa glukosa menjadi :
2.    Bakteri Acetogenic menguraikan asam propionat dan asam butirat menjadi :
3.    Acetoclastic methane menguraikan asam asetat menjadi :
4.    Methane bacteria mensintesa hidrogen dan karbondioksida menjadi :
(Manurung, 2004)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Anaerobik
Lingkungan besar pengaruhnya pada laju pertumbuhan mikroorganisme baik pada proses aerobik maupun anaerobik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses anaerobik antara lain: temperatur, pH, konsentrasi substrat dan zat beracun.
1. Temperatur
Gas dapat dihasilkan jika suhu antara 4 - 60°C dan suhu dijaga konstan. Bakteri akan menghasilkan enzim yang lebih banyak pada temperatur optimum. Semakin tinggi temperatur reaksi juga akan semakin cepat tetapi bakteri akan semakin berkurang. Beberapa jenis bakteri dapat bertahan pada rentang temperatur tertentu dapat dillihat pada tabel berikut :
Proses pembentukan metana bekerja pada rentang temperatur 30-40°C, tapi dapat juga terjadi pada temperatur rendah, 4°C. Laju produksi gas akan naik 100-400% untuk setiap kenaikan temperatur 12°C pada rentang temperatur 4-65°C.
Mikroorganisme yang berjenis thermophilic lebih sensitif terhadap perubahan temparatur daripada jenis mesophilic. Pada temperatur 38°C, jenis mesophilic dapat bertahan pada perubahan temperatur ± 2,8°C.
Untuk jenis thermophilic pada suhu 49°C, perubahan suhu yang dizinkan ± 0,8°C dan pada temperatur 52°C perubahan temperatur yang dizinkan ± O,3°C.

2. pH (keasaman)
Bakteri penghasil metana sangat sensitif terhadap perubahan pH. Rentang pH optimum untuk jenis bakteri penghasil metana antara 6,4 - 7,4. Bakteri yang tidak menghasilkan metana tidak begitu sensitif terhadap perubahan pH, dan dapat bekerja pada pH antara 5 hingga 8,5.
Karena proses anaerobik terdiri dari dua tahap yaitu tahap pambentukan asam dan tahap pembentukan metana, maka pengaturan pH awal proses sangat penting. Tahap pembentukan asam akan menurunkan pH awal. Jika penurunan ini cukup besar akan dapat menghambat aktivitas mikroorganisme penghasil metana. Untuk meningkatkat pH dapat dilakukan dengan penambahan kapur.

3. Konsentrasi Substrat
Sel mikroorganisme mengandung Carbon, Nitrogen, Posfor dan Sulfur dengan perbandingan 100 : 10 : 1 : 1. Untuk pertumbuhan mikroorganisme, unsur-unsur di atas harus ada pada sumber makanannya (substart). Konsentrasi substrat dapat mempengaruhi proses kerja mikroorganisme. Kondisi yang optimum dicapai jika jumlah mikroorganisme sebanding dengan konsentrasi substrat.
Kandungan air dalam substart dan homogenitas sistem juga mempengaruhi proses kerja mikroorganisme. Karena kandungan air yang tinggi akan memudahkan proses penguraian, sedangkan homogenitas sistem membuat kontak antar mikroorganisme dengan substrat menjadi lebih intim.

4. Zat Baracun
Zat organik maupun anorganik, baik yang terlarut maupun tersuspensi dapat menjadi penghambat ataupun racun bagi pertumbuhan mikroorganisme jika terdapat pada konsentrasi yang tinggi. Untuk logam pads umumnya sifat racun akan semakin bertambah dengan tingginya valensi dan berat atomnya. Bakteri penghasil metana lebih sensitif terhadap racun daripada bakteri penghasil asam (Manurung, 2004).

Manfaat Perlakuan Anaerobik
-       Dapat mengolah bahan organik yang lebih tinggi.
-       Dapat mengolah senyawa organik terlarut maupun tersuspensi.
-       Produk biomassa yang dihasilkan lebih kecil.
-       Lahan yang digunakan lebih sempit.
-       Gas yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar.
(Manurung, 2004).

Kekurangan Perlakuan Anaerobik
-       Membutuhkan waktu tinggal yang cukup lama untuk menghasilkan produk.
-       Sangat sensitif terhadap perubahan temperatur.
-       Karena merupakan proses fermentasi menggunakan bakteri, perlu diperhatikan kondisi-kondisi fermentasi agar bakteri tetap hidup dan membantu pembentukan produk.
-       Membutuhkan senyawa alkalinitas sebagai nutrisi bagi mikroba.
-       Menghasilkan senyawa beracun seperti H2S.
(Hasanah, 2012)

3.    Gasifikasi dilanjutkan dengan Fischer Tropsch untuk menghasilkan hidrokarbon
Gambar Skema Sistem Integrasi Gasifikasi Biomassa dengan Sintesis Fischer Tropsch (Yulistiani, 2009)
Gasifikasi adalah proses konversi bahan bakar yang mengandung karbon menjadi gas yang memiliki nilai bakar dengan cara oksidasi parsial pada temperatur tinggi. Proses gasifikasi ini dilakukan dalam reaktor gasifikasi atau biasa disebut gasifier dan gas hasilnya disebut gas produser. Gasifier merupakan alat yang relatif sederhana karena mekanisme operasinya, seperti pengumpanan dan pembersihan gas hasil yang cukup mudah.
Proses gasifikasi biomassa dapat dilakukan baik secara langsung (menggunakan udara atau oksigen untuk membangkitkan panas melalui reaksi eksotermis), maupun tidak langsung (mentransfer panas ke dalam reaktor dari luar) (Reed, 1988). Gasifikasi umumnya terdiri dari 4 zona proses, yaitu pengeringan, pirolisis, oksidasi dan reduksi. Proses pengeringan, pirolisis dan reduksi bersifat endotermis, sementara proses oksidasi yang bersifat eksotermis berfungsi sebagai penyedia panas bagi ketiga proses tersebut (Arisanty, dkk., 2009).
Proses Gasifikasi, yaitu:
1.    Pengeringan
Pada pengeringan, kandungan air pada bahan bakar padat diuapkan oleh panas yang diserap proses oksidasi.
2.    Pirolisis
Pirolisis atau devolatilisasi disebut juga sebagai gasifikasi parsial. Suatu rangkaian proses fisik dan kimia terjadi selama proses pirolisis yang dimulai secara lambat pada T < 350 °C dan terjadi secara cepat pada T > 700 °C. Komposisi produk yang tersusun merupakan fungsi temperatur, tekanan, dan komposisi gas selama pirolisis berlangsung. Proses pirolisis dimulai pada temperatur sekitar 230 °C, ketika komponen yang tidak stabil secara termal, seperti lignin pada biomassa dan volatile matters pada batubara, pecah dan menguap bersamaan dengan komponen lainnya. Produk cair yang menguap mengandung tar dan PAH (polyaromatic hydrocarbon). Produk pirolisis umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu gas ringan (H2, CO, CO2, H2O, dan CH4), tar, dan arang.
3.    Oksidasi
Oksidasi atau pembakaran arang merupakan reaksi terpenting yang terjadi di dalam gasifier. Proses ini menyediakan seluruh energi panas yang dibutuhkan pada reaksi endotermik. Oksigen yang dipasok ke dalam gasifier bereaksi dengan substansi yang mudah terbakar. Hasil reaksi tersebut adalah CO2 dan H2O yang secara berurutan direduksi ketika kontak dengan arang yang diproduksi pada pirolisis.
4.    Reduksi
Reduksi atau gasifikasi melibatkan suatu rangkaian reaksi endotermik yang panasnya disuplai dari panas reaksi pembakaran. Produk yang dihasilkan pada proses ini adalah gas bakar, seperti H2, CO, dan CH4.
Reaksi berikut ini merupakan empat reaksi yang umum terjadi pada gasifikasi:
Ø Water-gas reaction.
Water-gas reaction merupakan reaksi oksidasi parsial karbon oleh kukus yang dapat berasal dari bahan bakar padat itu sendiri (hasil pirolisis) maupun dari sumber yang berbeda, seperti uap air yang dicampur dengan udara dan uap yang diproduksi dari penguapan air. Reaksi yang terjadi pada water-gas reaction adalah:
C + H2O -> H2 + CO – 131.38 kJ/kg mol karbon
Ø Boudouard reaction
Boudouard reaction merupakan reaksi antara karbondioksida yang terdapat di dalam gasifier dengan arang untuk menghasilkan CO. Reaksi yang terjadi pada Boudouard reaction adalah:
CO2 + C -> 2CO – 172.58 kJ/mol karbon


Ø Shift conversion
Shift conversion merupakan reaksi reduksi karbon monoksida oleh kukus untuk memproduksi hidrogen. Reaksi ini dikenal sebagai water-gas shift yang menghasilkan peningkatan perbandingan hidrogen terhadap karbon monoksida pada gas produser. Reaksi ini digunakan pada pembuatan gas sintetik. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
CO + H2O -> CO2 + H2 – 41.98 kJ/mol
Ø Methanation
Methanation merupakan reaksi pembentukan gas metan. Reaksi yang terjadi pada methanation adalah:
C + 2H2 -> CH4 + 74.90 kJ/mol karbon
(Arisanty, dkk., 2009)

Manfaat Gasifikasi
-       Dibandingkan proses insinerasi, proses gasifikasi menghasilkan konversi karbon yang lebih tinggi hingga mencapai 99%.
-       Tidak menghasilkan senyawa dioxin, sulfur dan senyawa-senyawa berbahaya lainnya, karena sudah dihilangkan pada proses sintesis Fischer Tropsch.
-       Proses sintesis Fischer Tropsch menggunakan katalis yang mudah diperoleh.
-       Alat yang digunakan relatif sederhana karena mekanisme operasinya seperti pengumpanan dan pembersihan gas hasil yang cukup mudah.
-       Menghasilkan senyawa hidrokarbon cair yang dapat digunakan lebih lanjut untuk menghasilkan bahan bakar diesel dan pembangkit listrik.
(Arisanty, dkk., 2009)

Kekurangan Gasifikasi
-       Keberhasilan operasi gasifikasi pada penerapannya tidak mudah. Hal ini karena fenomena termodinamika operasi gasifier belum begitu dipahami secara mendalam, sehingga masih banyak hal yang memerlukan pengkajian.
-       Penerapan teknologi ini membutuhkan investasi yang besar, sehingga perlu peninjauan ulang untuk diterapkan.
(Arisanty, dkk., 2009)
DAFTAR PUSTAKA

Arisanty, Yovita Reiny., Yuni Kusumastuti dan Annisa Widyanti Utami. 2009. Gasifikasi Limbah Kulit Biji Kopi Dalam Reaktor Fixed Bed Dengan Sistem Inverted Downdraft Gasifier : Distribusi Suhu. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.
Hasanah. 2012. Pembuatan Biogas dengan Proses Anaerobik. Institut Pertanian Bogor. Scientific Repository.
Manurung, Renita. 2004. Proses Anaerobik Sebagai Alternatif Untuk Mengolah Limbah Sawit. Program Studi Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara.
Latief, A. Sutowo. 2010. Manfaat dan Dampak Penggunaan Insinerator Terhadap Lingkungan. Politeknik Negeri Semarang. Jurnal Teknis. Vol 5. No 1. Hal : 20- 22.
Novita, Elida. 2012. Desain Proses Pengolahan Pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Yulistiani, Fitria. 2009. Kajian Tekno Ekonomi Pabrik Konversi Biomasa Menjadi Bahan Bakar Fischer Tropsch Melalui Proses Gasifikasi. Institut Teknologi Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar