Senin, 11 Maret 2013

PENGERINGAN PADI DENGAN ALAT BED DRYER DENGAN SUMBER PANAS PEMBAKARAN JERAMI



LATAR BELAKANG
Beras adalah makanan pokok penduduk Indonesia. Namun ironisnya Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang subur justru mengimpor beras dari negara lain. Salah satu penghambat produksi beras di Indonesia yaitu permasalahan pada proses pengeringan gabah. Selama ini para petani Indonesia hanya mengandalkan panas matahari untuk mengeringkan gabah hasil panennya sehingga pada saat musim hujan mereka mengalami kesulitan dalam proses pengeringannya. Penjemuran atau pengeringan gabah hasil panen merupakan cara untuk mencegah perusakan gabah atau turunnya mutu gabah/beras. Di lahan rawa pasang surut mengalami kesulitan bila panen terjadi pada musim hujan, dan dibarengi kondisi air tanah yang tinggi (lembab). Pengeringan menggunakan panas matahari membutuhkan waktu minimal 3 hari untuk mencapai kadar air minimal dalam gabah agar dapat digiling dengan sempurna sehingga jika hari hujan petani tidak dapat mengeringkan gabah mereka dan hal ini dapat menyebabkan gabah rusak yang pada akhirnya beras yang dihasilkan memiliki kualitas jelek.
Sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah tersebut, maka perlu dilakukan suatu alat pengering yang dapat membantu para petani dalam mengeringkan hasil pertanian, khususnya gabah. dalam kajian ini digunakan alat pengering yaitu Bed Dryer dengan sumber pembakaran berupa Jerami







TINJAUAN PUSTAKA

1.      Gabah
Gabah dari hasil panen atau yang dikenal dengan nama ”Gabah Kering Panen (GKP)” biasanya mempunyai kandungan air 18 – 25 %. Gabah harus memenuhi syarat kandungan air gabah agar gabah layak disimpan atau digiling, yaitu kandungan airnya sekitar 14%, sedangkan agar gabah dapat langsung digiling, kandungan airnya harus 12-13%. Gabah Kering Panen ini harus secepatnya dikeringkan karena jika tidak langsung dikeringkan, akan muncul permasalahan-permasalahan, yaitu akan terjadi kerusakan pada butir beras yang dihasilkan, ditandai dengan warna beras yang agak kecoklatan, menyebabkan harga jual rendah sehingga merugikan petani dan dengan kadar air tersebut gabah tidak mempunyai ketahanan untuk disimpan.
Struktur butir gabah terdiri atas 3 (tiga) bagian utama yaitu antara lain:
1. Kulit atau sekam
Kulit padi lazimnya dinamakan sekam yaitu 23% dari bobot gabah, sedangkan butir biji/endosperma dan lembaga/embrio disebut beras.
2. Butir biji atau endosperma
Butir biji yaitu 77% dari berat gabah atau endosperma dibungkus kulit ari (yang hanya 3% dari bobot beras) terdiri dari lapisan terluar disebut perikarp, kemudian tegmen dan lapisan aleuron yang banyak mengandung protein. Terdapat 2 (dua) lapisan pada tegmen, yaitu spermoderma dan perisperma yang banyak mengandung lemak.
3. Lembaga atau embrio
Lembaga atau embrio yang bobotnya sekitar ± 2-3 % dari bobot butir terdiri dari bakal akar (radikel), bakal daun (plumul), tudung (skutelum) dan epiblas. Lembaga atau embrio banyak mengandung lemak dan protein

2.      Drying (Pengeringan)
Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air bahan hingga mencapai kadar air tertentu sehingga menghambat laju kerusakan bahan akibat aktifitas biologis dan kimia (Brooker et al.,2004). Dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air bahan ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Agar suatu bahan dapat menjadi kering, maka udara harus memiliki kandungan uap air atau kelembaban yang relatif rendah dari bahan yang dikeringkan. Pada saat suatu bahan dikeringkan terjadi dua proses secara bersamaan, yaitu:
1. Perpindahan panas dari lingkungan untuk menguapkan air pada permukaan bahan.
2.Perpindahan massa (air) di dalam bahan akibat penguapan pada proses pertama.
Mekanisme pengeringan diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas berada di permukaan dan yang pertama kali mengalami penguapan (Mujumdar dan Devahastin, 2002). Bila air permukaan telah habis, maka terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam bahan secara difusi. Migrasi air dan uap terjadi karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dan bagian luar bahan (Handerson dan Perry, 2003). Henderson dan Perry (2003) dan Broker et al.(2004) menyatakan bahwa proses pengeringan dapat dibagi dalam dua periode, yaitu periode laju pengeringan tetap dan laju pengeringan menurun. Mekanisme pengeringan pada laju pengeringan menurun meliputi dua proses yaitu pergerakan air dari dalam bahan ke permukaan bahan dan pengeluaran air dari permukaan air ke udara sekitarnya. Laju pengeringan menurun terjadi setelah laju pengeringan konstan dimana kadar air bahan lebih kecil dari pada kadar air kritis (Henderson dan Perry, 2003). Menurut Brooker et al., (2004), beberapa parameter yang mempengaruhi waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan, antara lain:
1. Suhu Udara Pengering
Laju penguapan air bahan dalam pengering sangat ditentukan oleh kenaikan suhu. Bila suhu pengeringan dinaikkan maka panas yang dibutuhkan untuk penguapan air bahan menjadi berkurang. Suhu udara pengering berpengaruh terhadap lama pengeringan dan kualitas bahan hasil pengeringan. Makin tinggi suhu udara pengering maka proses pengeringan makin singkat. Biaya pengeringan dapat ditekan pada kapasitas yang besar jika digunakan pada suhu tinggi, selama suhu tersebut tidak sampai merusak bahan.
2. Kelembaban Relatif Udara Pengering
Kelembaban relatif udara adalah perbandingan massa uap air aktual pada volume yang diberikan dengan masa uap air saturasi pada temperatur yang sama. Kelembaban mutlak udara berpengaruh terhadap pemindahan cairan dari dalam ke permukaan bahan. Kelembaban relatif juga menentukan besarnya tingkat kemampuan udara pengering dalam menampung uap air di permukaan bahan. Semakin rendah RH udara pengering, makin cepat pula proses pengeringan yang terjadi, karena mampu menyerap dan menampung uap air lebih banyak dari pada udara dengan RH yang tinggi.
3. Kecepatan Udara Pengering
Pada proses pengeringan, udara berfungsi sebagai pembawa panas untuk menguapkan kandungan air pada bahan serta mengeluarkan uap air tersebut. Air dikeluarkan dari bahan dalam bentuk uap dan harus secepatnya dipindahkan dari bahan. Bila tidak segera dipindahkan maka air akan menjenuhkan atmosfer pada permukaan bahan, sehingga akan memperlambat pengeluaran air selanjutnya. Aliran udara yang cepat akan membawa uap air dari permukaan bahan dan mencegah uap air tersebut menjadi jenuh di permukann bahan. Semakin besar volume udara yang mengalir, maka semakin besar pula kemampuannya dalam membawa dan menampung air dari permukaan bahan.
4. Kadar Air Bahan
Pada proses pengeringan, sering dijumpai adanya variasi jumlah kadar air pada bahan. Yang mana variasi kadar air ini akan mempengaruhi lamanya proses pengeringan, sehingga perlu diketahui berapa persen kadar air pada bahan saat basah dan pada saat kering.

3.      Proses Pengeringan Gabah

1. Pemanenan
Panen dilakukan apabila butir padi telah cukup dianggap masak. Jika panen dilakukan terlalu awal dikhawatirkan diperoleh bulir muda, bulir hijau dan bulir kapur (yang tidak tahan simpan) serta rendemen beras rendah. Sebaliknya bila panen dilaksanakan terlalu tua mengakibatkan prosentase susut menjadi tinggi, karena gabah yang rontok akan lebih banyak. Panen yang tepat dapat ditentukan berdasarkan umur tanaman mulai dari fase pembungaan. Pemanenan dapat dilaksanakan pada saat umur tanaman antara 30-35 hari setelah berbunga merata. Panen pada periode ini menghasilkan bobot gabah bertambah, tetapi kualitas sering menurun. Sedangkan apabila dipanen pada umur 25-30 hari setelah berbunga merata akan menghasilkan prosentase beras kepala bertambah tetapi ada kemungkinan produksi menurun. Pemanenan yang tepat dapat dilaksanakan pada kadar air padi/gabah berkisar diantara 23-27% atau apabila 80% bulir berwarna kuning dari ujung malai. Panen padi dapat dilaksanakan dengan cara memotong pangkal (tangkai) malai, maupun dengan cara membabat pangkal tanaman. Pembabatan batang dilaksanakan pada ukuran ± 10 cm di atas permukaan tanah dengan sabit biasa atau sabit bergerigi. Penggunaan sabit bergerigi lebih dianjurkan karena praktis dan lebih mudah penggunaannya. Setelah dibabat, batang padi ditumpuk di atas tanah yang kering dekat dengan lokasi perontokan. Untuk mengurangi susut gabah akibat tercecer maka penggunaan alas bagi penumpukan gabah sangatlah dianjurkan. Cara tradisional lain dalam pemanenan padi adalah dengan cara “potong atas” menggunakan alat ani-ani atau ketam. Pemanenan cara ini dilakukan pada tanaman padi yang batangnya tinggi, sehingga gabah hasil panen dapat langsung ditaruh dalam wadah. Pemanenan yang lebih maju dapat dilakukan dengan menggunakan alat panen seperti reaper, combine reaper dan lain sebagainya.

2. Perontokan
Terdapat 2 (dua) cara perontokan yang biasa dilakukan petani :
a. Perontokan secara tradisional yang dilakukan dengan cara diinjak- injak/diiles, dihempas atau dipukul pada bambu atau kayu yang telah dipersiapkan sebelumnya.
b. Perontokan dengan cara moderen dan praktis yaitu dengan menggunakan mesin perontok atau thresher baik yang digerakkan dengan kaki/tangan maupun yang digerakkan dengan motor (power thresher). Perontokan gabah sebaiknya dilaksanakan langsung di sawah karena selain dapat memperkecil kehilangan hasil panen akibat pengangkutan juga agar jerami sisa perontokan dapat dikembalikan lagi ke sawah sebagai bahan dasar pupuk organik.





Beberapa hal penting yang harus menjadi perhatian dalam
perontokan gabah, antara lain sebagai berikut :
a.       Dalam perontokan hendaknya memperhatikan arah angin sehingga kotoran yang lebih ringan dari gabah akan langsung terpisah terbawa hembusan angin.
b.      Perontokan dengan cara dihempas atau dipukul pada balok kayu atau bambu perlu menggunakan alas lebih luas agar gabah yang terpelanting dapat ditampung dengan mudah.
c.       Tempat perontokan sebaiknya diberi alas plastik atau tikar, anyaman bambu atau alas lain seperti lantai semen yang rata untuk mengurangi gabah yang hilang karena tercecer.
d.      Perontokan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah panen, hal ini untuk menghindari timbulnya proses fermentasi yang akan menimbulkan butir kuning.
3. Pembersihan
Pembersihan gabah selain bertujuan untuk menghilangkan butir hampa, kotoran dan benda asing lainnya juga mempertinggi nilai jual per satuan bobot, mempertinggi efisiensi pengeringan dan pengolahan hasil serta akan memperpanjang daya simpan (menekan serangan hama gudang). Berbagai kotoran yang biasanya terikut pada hasil perontokan antara lain potongan merang (tangkai padi), gabah hampa, tanah, pasir, potongan malai atau jaba, potongan daun atau bagian tanaman lainnya. Terdapat tiga (3) cara pembersihan gabah yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut :
a. Cara tradisional yaitu ditampi menggunakan nyiru atau dengan mesin penampi tanpa
motor. Cara ini akan memberikan hasil yang baik dan bersih namun kurang efektif jika digunakan dalam skala besar.
b. Diayak dengan menggunakan saringan atau ayakan. Cara inipun masih merupakan cara tradisional yang digunakan untuk skala rumah tangga.
c. Pembersihan dengan power blower yaitu peniupan dengan mesin penampi bermotor yang memungkinkan pembersihan padi dalam skala besar Prinsip kerja power blower ini didasarkan pada perbedaan bobot bahan, yaitu kotoran yang lebih ringan dari gabah akan terbawa dan terpisah oleh hembusan angin. Pembersihan menggunakan hembusan angin disebut juga sebagai proses wind-owing. Power blower ini membersihkan gabah hasil perontokan karena mesin ini dilengkapi dengan mesin penampi bermotor sebagai penampi mekanis. Namun apabila masih terdapat kotoran agak berat yang berupa batu kecil, kerikil maupun tanah yang tidak memungkinkan dipisahkan melalui penampilan, maka perlu diambil dan dibuang secara manual atau dengan alat pembersih lebih maju seperti cleaner yang dirangkaikan dengan alat pengering.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembersihan:
a.       selama pembersihan harus digunakan alas secukupnya sehingga akan memperkecil kehilangan akibat tercecer.
b.      pembersihan yang dilakukan setelah kegiatan perontokan padi dapat mempercepat pewadahan dan pengangkutan, namun efektivitas pembersihan relatif lebih baik apabila gabah dan kotorannya telah kering.
c.       pembersihan gabah harus diulang sesudah gabah dikeringkan sehingga kadar hampa dan kotoran minimum.

4. Pewadahan dan Pemindahan
Gabah yang telah dirontokkan hendaknya segera diwadahkan dan dipindahkan ke tempat yang lebih aman. Gabah yang akan dipindah harus dikemas ke dalam goni / karung atau wadah lain agar gabah tidak tercecer. Pemindahan harus dilakukan sesegera mungkin agar terhindar penumpukan gabah yang terlalu lama dalam kondisi basah. Kondisi gabah yang basah memungkinkan tumbuh dan berkembang biaknya jamur atau cendawan secara cepat. Pemindahan gabah dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan dari yang sederhana seperti keranjang, pikulan, sepeda, gerobak; sampai peralatan yang moderen seperti mobil. Selama proses pemindahan sebaiknya dihindarkan dari kerusakan mekanis, tercecer, pengotoran dan aman dari tangan-tangan jahil selama pemindahan. Perlu juga diperhatikan dan disiapkan tempat penampungan hasil panen yang masih basah. Usahakan agar gabah basah dapat segera dijemur atau diangin-anginkan untuk menghindari proses fermentasi akibat penumpukan yang menimbulkan suhu panas. Proses pemanasan terjadi karena adanya akumulasi kalor hasil fermentasi gabah basah yang ditumpuk, sehingga makin merusak gabah bersangkutan. Agar supaya akumulasi kalor tidak terjadi maka usahakan gabah basah memperoleh aerasi (aliran udara yang cukup).

4.      Jerami
Indonesia adalah Negara agraris yang masyarakatnya hidup di bidang pertanian. salah satunya pertanian padi. Sepanjang tahun produksi padi menghasilkan limbah berupa jerami padi dalam jumlah yang besar. Jumlahnya sekitar 20 juta per tahun. Menurut data BPS tahun 2006, luas sawah di Indonesia adalah 11,9 juta ha. Produksi per hektar sawah bisa mencapai 12-15 ton bahan kering setiap kali panen, tergantung lokasi dan varientasi tanaman. Selain itu unsur hara dan kompenen yang terkandung di dalam jerami itu juga sangat luar biasa.
Menurut penelitian ketika kita memanen padi 5 ton gabah kering dari 1 ha sawah maka kita telah kehilangan unsur hara 150 kg N, 20 Kg P, 150 Kg K dan 20 Kg S yang terbawa oleh hasil panen kita. Dari hasil panen 5 ton gabah kering tersebut biasanya akan dihasilkan 7,5 ton jerami. Di Indonesia rata-rata kandungan unsur hara yang terkandung dalam jerami adalah 0,4 % N, 0,02 % P, 1,4 % K dan 5,6 % Si. Dan yang perlu diketahui adalah ketika kita memanen padi 5 ton/ha akan dihasilkan jerami sebanyak 7 ton yang mengandung 45 kg N, 10 Kg P, 125 Kg K, 10 Kg S, 350 Kg Si, 30 Kg Ca 10 Kg Mg. sedangkan untuk kompenennya sendiri terdiri dari 39% selulosa, 27% hemiselulosa, 12% legini, 11% abu.
Pembakaran jerami oleh petani. secara tak langsung mengembalikan unsur hara jerami ke dalam tanah, membunuh bakteri patogen yang ada dalam tanah, dan ikut mengurangi gulma yang ada di lahan pertanian. Hasil pembakaran jerami berupa selulosa akan lebih cepat diserap tanah dalam kondisi abu karena kandungan protein dan karbonnya sudah terpecah. Dengan demikian tanpa disadari pembakaran jerami juga menguntungkan tanah secara tak langsung.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar