LATAR BELAKANG
Beras adalah
makanan pokok penduduk Indonesia. Namun ironisnya Indonesia sebagai negara
agraris yang memiliki lahan pertanian yang subur justru mengimpor beras dari
negara lain. Salah satu penghambat produksi beras di Indonesia yaitu
permasalahan pada proses pengeringan gabah. Selama ini para petani Indonesia
hanya mengandalkan panas matahari untuk mengeringkan gabah hasil panennya
sehingga pada saat musim hujan mereka mengalami kesulitan dalam proses
pengeringannya. Penjemuran atau pengeringan gabah hasil panen
merupakan cara untuk mencegah perusakan gabah atau turunnya mutu gabah/beras.
Di lahan rawa pasang surut mengalami kesulitan bila panen terjadi pada musim
hujan, dan dibarengi kondisi air tanah yang tinggi (lembab). Pengeringan menggunakan panas matahari
membutuhkan waktu minimal 3 hari untuk mencapai kadar air minimal dalam gabah
agar dapat digiling dengan sempurna sehingga jika hari hujan petani tidak dapat
mengeringkan gabah mereka dan hal ini dapat menyebabkan gabah rusak yang pada
akhirnya beras yang dihasilkan memiliki kualitas jelek.
Sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah
tersebut, maka perlu dilakukan suatu alat pengering yang dapat membantu para
petani dalam mengeringkan hasil pertanian, khususnya gabah. dalam kajian ini
digunakan alat pengering yaitu Bed Dryer dengan sumber pembakaran berupa Jerami
TINJAUAN PUSTAKA
1. Gabah
Gabah dari
hasil panen atau yang dikenal dengan nama ”Gabah Kering Panen (GKP)” biasanya
mempunyai kandungan air 18 – 25 %. Gabah harus memenuhi syarat kandungan air
gabah agar gabah layak disimpan atau digiling, yaitu kandungan airnya sekitar
14%, sedangkan agar gabah dapat langsung digiling, kandungan airnya harus
12-13%. Gabah Kering Panen ini harus secepatnya dikeringkan karena jika tidak langsung
dikeringkan, akan muncul permasalahan-permasalahan, yaitu akan terjadi kerusakan
pada butir beras yang dihasilkan, ditandai dengan warna beras yang agak kecoklatan,
menyebabkan harga jual rendah sehingga merugikan petani dan dengan kadar air tersebut
gabah tidak mempunyai ketahanan untuk disimpan.
Struktur
butir gabah terdiri atas 3 (tiga) bagian utama yaitu antara lain:
1.
Kulit atau sekam
Kulit
padi lazimnya dinamakan sekam yaitu 23% dari bobot gabah, sedangkan butir
biji/endosperma dan lembaga/embrio disebut beras.
2.
Butir biji atau endosperma
Butir
biji yaitu 77% dari berat gabah atau endosperma dibungkus kulit ari (yang hanya
3% dari bobot beras) terdiri dari lapisan terluar disebut perikarp, kemudian
tegmen dan lapisan aleuron yang banyak mengandung protein.
Terdapat 2 (dua) lapisan pada tegmen, yaitu spermoderma dan perisperma
yang banyak mengandung lemak.
3.
Lembaga atau embrio
Lembaga
atau embrio yang bobotnya sekitar ± 2-3 % dari bobot butir terdiri dari bakal
akar (radikel), bakal daun (plumul), tudung (skutelum) dan
epiblas. Lembaga atau embrio banyak mengandung lemak dan protein
2.
Drying (Pengeringan)
Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air
bahan hingga mencapai kadar air tertentu sehingga menghambat laju kerusakan
bahan akibat aktifitas biologis dan kimia (Brooker et al.,2004). Dasar proses
pengeringan adalah terjadinya penguapan air bahan ke udara karena perbedaan
kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Agar suatu bahan
dapat menjadi kering, maka udara harus memiliki kandungan uap air atau kelembaban
yang relatif rendah dari bahan yang dikeringkan. Pada saat suatu bahan
dikeringkan terjadi dua proses secara bersamaan, yaitu:
1.
Perpindahan panas dari lingkungan untuk menguapkan air pada permukaan bahan.
2.Perpindahan
massa (air) di dalam bahan akibat penguapan pada proses pertama.
Mekanisme pengeringan diterangkan melalui teori
tekanan uap. Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air
bebas berada di permukaan dan yang pertama kali mengalami penguapan (Mujumdar
dan Devahastin, 2002). Bila air permukaan telah habis, maka terjadi migrasi air
dan uap air dari bagian dalam bahan secara difusi. Migrasi air dan uap terjadi
karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dan bagian luar
bahan (Handerson dan Perry, 2003). Henderson dan Perry (2003) dan Broker et
al.(2004) menyatakan bahwa proses pengeringan dapat dibagi dalam dua periode, yaitu
periode laju pengeringan tetap dan laju pengeringan menurun. Mekanisme pengeringan
pada laju pengeringan menurun meliputi dua proses yaitu pergerakan air dari dalam
bahan ke permukaan bahan dan pengeluaran air dari permukaan air ke udara sekitarnya.
Laju pengeringan menurun terjadi setelah laju pengeringan konstan dimana kadar
air bahan lebih kecil dari pada kadar air kritis (Henderson dan Perry, 2003). Menurut
Brooker et al., (2004), beberapa parameter yang mempengaruhi waktu yang
dibutuhkan dalam proses pengeringan, antara lain:
1.
Suhu Udara Pengering
Laju penguapan air bahan dalam pengering sangat
ditentukan oleh kenaikan suhu. Bila suhu pengeringan dinaikkan maka panas yang
dibutuhkan untuk penguapan air bahan menjadi berkurang. Suhu udara pengering
berpengaruh terhadap lama pengeringan dan kualitas bahan hasil pengeringan.
Makin tinggi suhu udara pengering maka proses pengeringan makin singkat. Biaya
pengeringan dapat ditekan pada kapasitas yang besar jika digunakan pada suhu
tinggi, selama suhu tersebut tidak sampai merusak bahan.
2.
Kelembaban Relatif Udara Pengering
Kelembaban relatif udara adalah perbandingan massa
uap air aktual pada volume yang diberikan dengan masa uap air saturasi pada
temperatur yang sama. Kelembaban mutlak udara berpengaruh terhadap pemindahan
cairan dari dalam ke permukaan bahan. Kelembaban relatif juga menentukan
besarnya tingkat kemampuan udara pengering dalam menampung uap air di permukaan
bahan. Semakin rendah RH udara pengering, makin cepat pula proses pengeringan
yang terjadi, karena mampu menyerap dan menampung uap air lebih banyak dari
pada udara dengan RH yang tinggi.
3.
Kecepatan Udara Pengering
Pada proses pengeringan, udara berfungsi sebagai
pembawa panas untuk menguapkan kandungan air pada bahan serta mengeluarkan uap
air tersebut. Air dikeluarkan dari bahan dalam bentuk uap dan harus secepatnya
dipindahkan dari bahan. Bila tidak segera dipindahkan maka air akan menjenuhkan
atmosfer pada permukaan bahan, sehingga akan memperlambat pengeluaran air selanjutnya.
Aliran udara yang cepat akan membawa uap air dari permukaan bahan dan mencegah
uap air tersebut menjadi jenuh di permukann bahan. Semakin besar volume udara
yang mengalir, maka semakin besar pula kemampuannya dalam membawa dan menampung
air dari permukaan bahan.
4.
Kadar Air Bahan
Pada proses pengeringan, sering dijumpai adanya variasi
jumlah kadar air pada bahan. Yang mana variasi kadar air ini akan mempengaruhi
lamanya proses pengeringan, sehingga perlu diketahui berapa persen kadar air
pada bahan saat basah dan pada saat kering.
3.
Proses Pengeringan Gabah
1. Pemanenan
Panen dilakukan apabila butir padi telah cukup
dianggap masak. Jika panen dilakukan terlalu awal dikhawatirkan diperoleh bulir
muda, bulir hijau dan bulir kapur (yang tidak tahan simpan) serta rendemen beras
rendah. Sebaliknya bila panen dilaksanakan terlalu tua mengakibatkan prosentase
susut menjadi tinggi, karena gabah yang rontok akan lebih banyak. Panen yang
tepat dapat ditentukan berdasarkan umur tanaman mulai dari fase pembungaan. Pemanenan
dapat dilaksanakan pada saat umur tanaman antara 30-35 hari setelah berbunga
merata. Panen pada periode ini menghasilkan bobot gabah bertambah, tetapi
kualitas sering menurun. Sedangkan apabila dipanen pada umur 25-30 hari setelah
berbunga merata akan menghasilkan prosentase beras kepala bertambah tetapi ada
kemungkinan produksi menurun. Pemanenan yang tepat dapat dilaksanakan pada
kadar air padi/gabah berkisar diantara 23-27% atau apabila 80% bulir berwarna
kuning dari ujung malai. Panen padi dapat dilaksanakan dengan cara memotong
pangkal (tangkai) malai, maupun dengan cara membabat pangkal tanaman. Pembabatan
batang dilaksanakan pada ukuran ± 10 cm di atas permukaan tanah dengan sabit
biasa atau sabit bergerigi. Penggunaan sabit bergerigi lebih dianjurkan karena
praktis dan lebih mudah penggunaannya. Setelah dibabat, batang padi ditumpuk di
atas tanah yang kering dekat dengan lokasi perontokan. Untuk mengurangi susut gabah
akibat tercecer maka penggunaan alas bagi penumpukan gabah sangatlah
dianjurkan. Cara tradisional lain dalam pemanenan padi adalah dengan cara “potong
atas” menggunakan alat ani-ani atau ketam. Pemanenan cara ini
dilakukan pada tanaman padi yang batangnya tinggi, sehingga gabah hasil panen
dapat langsung ditaruh dalam wadah. Pemanenan yang lebih maju dapat dilakukan
dengan menggunakan alat panen seperti reaper, combine reaper dan lain sebagainya.
2. Perontokan
Terdapat
2 (dua) cara perontokan yang biasa dilakukan petani :
a.
Perontokan secara tradisional yang dilakukan dengan cara diinjak- injak/diiles,
dihempas atau dipukul pada bambu atau kayu yang telah dipersiapkan sebelumnya.
b.
Perontokan dengan cara moderen dan praktis yaitu dengan menggunakan mesin
perontok atau thresher baik yang digerakkan dengan kaki/tangan maupun
yang digerakkan dengan motor (power thresher). Perontokan gabah
sebaiknya dilaksanakan langsung di sawah karena selain dapat memperkecil
kehilangan hasil panen akibat pengangkutan juga agar jerami sisa perontokan
dapat dikembalikan lagi ke sawah sebagai bahan dasar pupuk organik.
Beberapa
hal penting yang harus menjadi perhatian dalam
perontokan
gabah, antara lain sebagai berikut :
a. Dalam
perontokan hendaknya memperhatikan arah angin sehingga kotoran yang lebih
ringan dari gabah akan langsung terpisah terbawa hembusan angin.
b. Perontokan
dengan cara dihempas atau dipukul pada balok kayu atau bambu perlu menggunakan
alas lebih luas agar gabah yang terpelanting dapat ditampung dengan mudah.
c. Tempat
perontokan sebaiknya diberi alas plastik atau tikar, anyaman bambu atau alas
lain seperti lantai semen yang rata untuk mengurangi gabah yang hilang karena
tercecer.
d. Perontokan
sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah panen, hal ini untuk menghindari
timbulnya proses fermentasi yang akan menimbulkan butir kuning.
3. Pembersihan
Pembersihan gabah selain bertujuan untuk
menghilangkan butir hampa, kotoran dan benda asing lainnya juga mempertinggi
nilai jual per satuan bobot, mempertinggi efisiensi pengeringan dan pengolahan
hasil serta akan memperpanjang daya simpan (menekan serangan hama gudang).
Berbagai kotoran yang biasanya terikut pada hasil perontokan antara lain
potongan merang (tangkai padi), gabah hampa, tanah, pasir, potongan malai atau
jaba, potongan daun atau bagian tanaman lainnya. Terdapat tiga (3) cara
pembersihan gabah yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut :
a.
Cara tradisional yaitu ditampi menggunakan nyiru atau dengan mesin penampi
tanpa
motor.
Cara ini akan memberikan hasil yang baik dan bersih namun kurang efektif jika
digunakan dalam skala besar.
b.
Diayak dengan menggunakan saringan atau ayakan. Cara inipun masih merupakan
cara tradisional yang digunakan untuk skala rumah tangga.
c.
Pembersihan dengan power blower yaitu peniupan dengan mesin penampi
bermotor yang memungkinkan pembersihan padi dalam skala besar Prinsip kerja power
blower ini didasarkan pada perbedaan bobot bahan, yaitu kotoran yang lebih
ringan dari gabah akan terbawa dan terpisah oleh hembusan angin. Pembersihan
menggunakan hembusan angin disebut juga sebagai proses wind-owing. Power
blower ini membersihkan gabah hasil perontokan karena mesin ini dilengkapi dengan
mesin penampi bermotor sebagai penampi mekanis. Namun apabila masih terdapat
kotoran agak berat yang berupa batu kecil, kerikil maupun tanah yang tidak
memungkinkan dipisahkan melalui penampilan, maka perlu diambil dan dibuang
secara manual atau dengan alat pembersih lebih maju seperti cleaner yang
dirangkaikan dengan alat pengering.
Terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembersihan:
a. selama
pembersihan harus digunakan alas secukupnya sehingga akan memperkecil
kehilangan akibat tercecer.
b. pembersihan
yang dilakukan setelah kegiatan perontokan padi dapat mempercepat pewadahan dan
pengangkutan, namun efektivitas pembersihan relatif lebih baik apabila gabah
dan kotorannya telah kering.
c. pembersihan
gabah harus diulang sesudah gabah dikeringkan sehingga kadar hampa dan kotoran
minimum.
4. Pewadahan dan Pemindahan
Gabah yang telah dirontokkan hendaknya segera
diwadahkan dan dipindahkan ke tempat yang lebih aman. Gabah yang akan dipindah
harus dikemas ke dalam goni / karung atau wadah lain agar gabah tidak tercecer.
Pemindahan harus dilakukan sesegera mungkin agar terhindar penumpukan gabah
yang terlalu lama dalam kondisi basah. Kondisi gabah yang basah memungkinkan
tumbuh dan berkembang biaknya jamur atau cendawan secara cepat. Pemindahan
gabah dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan dari yang sederhana seperti
keranjang, pikulan, sepeda, gerobak; sampai peralatan yang moderen seperti
mobil. Selama proses pemindahan sebaiknya dihindarkan dari kerusakan mekanis,
tercecer, pengotoran dan aman dari tangan-tangan jahil selama pemindahan. Perlu
juga diperhatikan dan disiapkan tempat penampungan hasil panen yang masih
basah. Usahakan agar gabah basah dapat segera dijemur atau diangin-anginkan
untuk menghindari proses fermentasi akibat penumpukan yang menimbulkan suhu panas.
Proses pemanasan terjadi karena adanya akumulasi kalor hasil fermentasi gabah
basah yang ditumpuk, sehingga makin merusak gabah bersangkutan. Agar supaya akumulasi
kalor tidak terjadi maka usahakan gabah basah memperoleh aerasi (aliran
udara yang cukup).
4. Jerami
Indonesia
adalah Negara agraris yang masyarakatnya hidup di bidang pertanian. salah
satunya pertanian padi. Sepanjang tahun produksi padi menghasilkan limbah
berupa jerami padi dalam jumlah yang besar. Jumlahnya sekitar 20 juta per
tahun. Menurut data BPS tahun 2006, luas sawah di Indonesia adalah 11,9 juta
ha. Produksi per hektar sawah bisa mencapai 12-15 ton bahan kering setiap kali
panen, tergantung lokasi dan varientasi tanaman. Selain itu unsur hara dan
kompenen yang terkandung di dalam jerami itu juga sangat luar biasa.
Menurut
penelitian ketika kita memanen padi 5 ton gabah kering dari 1 ha sawah maka
kita telah kehilangan unsur hara 150 kg N, 20 Kg P, 150 Kg K dan 20 Kg S yang
terbawa oleh hasil panen kita. Dari hasil panen 5 ton gabah kering tersebut
biasanya akan dihasilkan 7,5 ton jerami. Di Indonesia rata-rata kandungan unsur
hara yang terkandung dalam jerami adalah 0,4 % N, 0,02 % P, 1,4 % K dan 5,6 %
Si. Dan yang perlu diketahui adalah ketika kita memanen padi 5 ton/ha akan
dihasilkan jerami sebanyak 7 ton yang mengandung 45 kg N, 10 Kg P, 125 Kg K, 10
Kg S, 350 Kg Si, 30 Kg Ca 10 Kg Mg. sedangkan untuk kompenennya sendiri terdiri
dari 39% selulosa, 27% hemiselulosa, 12% legini, 11% abu.
Pembakaran jerami oleh petani. secara tak langsung
mengembalikan unsur hara jerami ke dalam tanah, membunuh bakteri patogen yang
ada dalam tanah, dan ikut mengurangi gulma yang ada di lahan pertanian. Hasil
pembakaran jerami berupa selulosa akan lebih cepat diserap tanah dalam kondisi
abu karena kandungan protein dan karbonnya sudah terpecah. Dengan demikian
tanpa disadari pembakaran jerami juga menguntungkan tanah secara tak langsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar