Api peperangan di
lembah Badr telah padam. Perang ini berakhir dengan kemenangan Dienul Haq
(agama yang benar) atas Dienul Kufr. Sejumlah 14 mujahid muslimin syahid; 6
orang dari pihak Muhajirin, sisanya 8 orang dari pihak Anshar. Di lain pihak
sebanyak 70 orang tentara musyrik Makkah ditawan, dan 70 orang lainnya tewas.
Kebanyakan dari mereka adalah para pemuka dan pembesar Makkah.
Sebelum Islam datang, masyarakat Arab hidup dalam sistem
'ashabiyyah yang fanatik terhadap qabilah (suku) dan keturunan. Hubungan mereka
kepada suku dan keturunan adalah hubungan hidup dan mati. "Bela saudaramu salah atau benar",
itulah semboyan mereka yang diterjemahkan secara harfiah. Hidup dan mati mereka
dipersembahkan untuk menjaga kehormatan dan keberlangsungan suku dan keturunan.
(Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum, hal. 45)
Dan di perang Badr ini (Ramadhan 2 H), perang pertama
dalam sejarah perjalanan Islam, justru mereka orang-orang Muhajirin Makkah
khususnya berperang melawan saudara, keturunan dan suku, bahkan ada yang
berperang melawan ayah, paman atau anaknya sendiri, yang berbeda aqidah. Umar
bin Al-Khaththab membunuh pamannya, 'Ash bin Hisyam yang kafir. Abu Bakr
berperang melawan anaknya, Abdurrahman yang ketika itu belum memeluk Islam.
Lain lagi kisah antara Mush'ab bin Umair dan saudara
kandungnya, Abu Aziz bin Umair. "Perkuat
ikatannya, ibunya adalah orang yang kaya raya. Siapa tahu ia akan menebus
anaknya dengan tawaran yang mahal", pinta Mush'ab kepada orang Anshar
yang menawan Abu Aziz sebagai tawanan perang Badr.
"Beginikah caramu memperlakukan saudara
kandungmu?' tanya Abu Aziz heran. "Kamu
bukan saudaraku. Tapi orang yang menahanmu itulah saudaraku," jawab
Mush'ab (wafat 3 H) dengan tegas.
Islam telah merajut
tali persaudaraan antara sesama pemeluknya tanpa mengenal batas hubungan darah,
warna kulit, status sosial dan batas negara. Dan hal tersebut telah
dipraktikkan secara sempurna oleh generasi pertama Islam, para sahabat Nabi `.
Ukhuwah dan Solidaritas
Rasa ukhuwah (persaudaraan) yang dilahirkan Islam buat
pemeluknya telah melahirkan sifat solidaritas sosial yang tinggi dalam
kehidupan masyarakat Muslim dan dalam peradaban manusia. Al-Qur'an mengabadikan
realitas tersebut.
"Dan mereka (orang-orang Anshar) mengutamakan
(Orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan
(apa yang mereka berikan itu)" (Al-Hasyr: 9).
Seorang lelaki
mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasalam , tulis Ibn Katsir ketika
menafsirkan ayat di atas tadi di dalam tafsirnya. "Ya Rasulullah, saya sedang tertimpa kesusahan" kata orang tadi
mengadu-kan nasibnya. Si lelaki tadi disuruh mendatangi rumah isteri-isteri
Nabi shallallahu alaihi wasalam . Namun, ia tidak menemukan bantuan karena
mereka juga tidak punya.
"Adakah seseorang yang mau menjamunya malam
ini? Semoga Allah merahmatinya" seru Rasulullah shallallahu alaihi
wasalam kepada para sahabatnya.
"Saya ya Rasulullah" jawab Abu
Thalhah, orang Anshar menyanggupi.
"Ini tamu Rasulullah shallallahu alaihi
wasalam , sediakan semua jamuan untuknya dan jangan disisakan" pinta
Abu Thalhah kepada istrinya setelah ia tiba di rumah. "Tapi kita tidak punya makanan apapun kecuali
makanan untuk anak-anak", jawab istrinya masygul.
"Jika anak-anak minta makan ajaklah tidur,
kemudian kamu ke sinilah lalu matikan lampu, dan biarlah kita sekeluarga lapar
malam ini". Di kala pagi Abu Thalhah bertemu Rasulullah, lalu beliau
bersabda: "Allah merasa kagum (atau
tertawa) kepada dia dan isterinya", kata Rasulullah ` memuji. (HR.
Al-Bukhari)
Islam telah mengikrarkan bahwa sesama Muslim adalah
bersaudara. "Sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah bersaudara" (Al-Hujurat: 10). Ayat ini telah
meletakkan dasar keimanan sebagai tali pengikat rasa ukhuwah. Perbedaan warna kulit,
suku, bangsa dan status sosial telah disatukan Islam dalam kerangka Iman. Islam
memprioritaskan seseorang berdasarkan status taqwanya.
Allah berfirman: "Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu"
(Al-Hujuraat: 11).
Rasa ukhuwah yang tumbuh pada setiap jiwa orang mukmin
merupakan nikmat Allah yang perlu diingat (disyukuri). Ukhuwah di dalam Islam
mempunyai arti tersendiri. Penyebutan ukhuwah -sebagai suatu nikmat-
didahulukan dari penyebutan diselamat-kannya orang-orang yang beriman dari
neraka (lihat QS. Ali Imran: 103).
Rasa ukhuwah akan tumbuh subur jika sifat ananiyah
(mementingkan diri sendiri), dan cinta dunia dikubur dalam-dalam. Untuk
menghilangkan sifat ananiyah, Rasulullah shallallahu alaihi wasalam menjadikan
rasa cinta kepada sesama Muslim sebagai bentuk kesempurnaan Iman.
"Tidak (sempurna) iman seseorang hingga ia
menginginkan bagi saudaranya apa yang ia inginkan untuk dirinya".(HR.
Al-Bukhari dan Muslim).
Dan nilai-nilai keduniaan yang akan menjadi penghambat
tumbuhnya rasa ukhuwah akan sirna jika manusia melihat dan merenungi
asal-usulnya, dan menyadari bahwa kemuliaan yang hakiki di sisi Allah dinilai
dari sisi ketaqwaannya.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Wahai manusia, Tuhan kalian satu, dan bapak
kalian satu, kalian berasal dari Adam, dan Adam dari tanah. Sesungguh-nya yang
paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Tidak
ada keutamaan bangsa Arab atas bangsa lain, tidak pula bagi bangsa lain atas
bangsa Arab, tidak ada keutamaan bagi kulit merah atas kulit putih dan bagi
kulit putih atas kulit merah, melainkan dengan takwanya." (HR. Ahmad).
Rasa ukhuwah berwujud dalam bentuk solidaritas sosial.
Solidaritas sosial di kalangan umat muslimin ada dua macam; dalam arti moral
dan material. Solidaritas dalam arti material terdiri dari pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat, perasaan ikut mengalami kesusahan yang diderita
oleh anggota masyarakat, kesediaan untuk membantu memperjuangkan kepentingan
bersama dalam rangka meningkatkan standar hidup masyarakat, dan pelayanan
terhadap seluruh anggota masyarakat dalam hal-hal yang menguntungkan mereka.
Sedangkan solidaritas sosial dalam arti moral diwujudkan
dalam bentuk kemauan untuk mengajak sesamanya untuk mengakui dan mengikuti
kebenar-an serta menjauhi segala kemungkaran -al amru bil ma'ruf wannahyu 'anil
munkar.
Ukhuwah sejati adalah ukhuwah yang dibina atas dasar
keimanan. Rasa ukhuwah yang dibangun bukan atas dasar iman –entah itu
kepentingan pribadi atau kelompok- hanya akan langgeng jika aspek yang
menguntungkan kepentingan tadi ada. Tanpa dasar keimanan, persaudaraan hanya
akan menjadi sarana untuk meraih kepen-tingan duniawi, tak lebih dari itu.
Berukhuwah dan Saling Menasihati
Termasuk dari lima orang pertama yang masuk Islam adalah
Abu Bakar (wafat 13 H). Abu Bakar adalah teman dekat Nabi shallallahu alaihi
wasalam . Keduanya telah lama berteman jauh sebelum Nabi diangkat menjadi Nabi
& Rasul. Dan lewat persahabatan, Abu Bakar meng-Islamkan Usman bin Affan
(wafat 40 H), Zubair bin Awwam (wafat 36 H), Abdurrahman bin Auf (wafat 34 H),
Sa'd bin Abi Waqqas (wafat 55 H) dan Thalhah bin Ubaidillah (wafat 36 H). Di
sini Abu Bakar menggunakan hubungan persahabatan untuk menyebarkan Islam kepada
teman-temannya yang dikenal kepribadiannya dengan baik.
Menasehati teman (seseorang) yang telah dikenal baik,
kemungkinan untuk diterima lebih besar. Nasehat tidak mesti harus diterima,
kadang bahkan tidak diterima sama sekali. Diperlukan waktu dan pengulangan
nasihat agar dapat diterima –jika Allah menghendaki. Al-Qur'an dan Al-Hadits
pun menggunakan bahasa 'pengulangan' untuk suatu perintah (baca: nasihat)
tertentu.
Allah mengulang-ulang ayat yang artinya "maka nikmat
Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan" seba-nyak 30 kali dalam satu
surat (Ar-Rahman: 55). Tentunya ayat tersebut dilatarbela-kangi dengan hal yang
tidak sama. Ikhlas dan mutaba'ah (mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi
wasalam : berilmu) adalah syarat mutlak menasihati. Nasihat adalah imad (tiang)
agama. (HR Muslim).
Jaga
muru'ah (kehormatan) dan harga diri dengan memberi nasihat sesuai apa yang kita
kerjakan. Bercerminlah sebelum menasihati. Orang akan mencibir dan mencemooh
terhadap orang yang mengatakan apa yang tidak diperbuatnya. Allahpun amat benci
terhadap orang yang bersifat seperti itu.(Ash-Shaff: 3). Meniru matahari yang
selalu menerangi alam raya tanpa harus memusnahkan dirinya, rasanya lebih
bijaksana daripada menjadi sebatang lilin yang menerangi sebidang ruang gelap
tapi dengan membakar diri sendiri. Wallahu a'lam. (Asri Ibnu Tsani).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar