Terjawab, Misteri Hilangnya Sampah Plastik di Samudera
Setelah para ilmuwan dibuat kebingungan dengan keberadaan sampah plastik di samudera, penelitian ini menjawab misteri itu.
Sebelumnya diberitakan dalam jurnal PLOS ONE bahwa polusi plastik begitu melimpah dan diperkirakan ada 5,25 triliun sampah plastik mengambang di lautan. Akan tetapi Proceeding of the National Academy of Sciences hanya mendapati 35.000 ton parikel sampah plastik. Lantas kemana perginya sebagian besar sampah plastik lainnya?
Penelitian lain menjawab misteri hilangnya sampah plastik di lautan itu. Royal Society Open Science menerbitkan penelitian yang menjawab tentang hilangnya sampah plastik tersebut.
Jawabannya adalah sampah plastik itu ‘bersembunyi’ di perairan dalam. Sampah tersebut terpecah menjadi serat-serat kecil dan tertanam dalam sedimen pada tempat paling terpencil di Bumi.
Ahli biologi kelautan Richard Thompson dari Plymouth University menyatakan adanya hubungan antara hilangnya sampah plastik dengan dasar lautan.
Sampah plastik telah mencemari rantai makanan pada spesies laut dan setelah diakumulasi jumlahnya lebih besar dari dugaan sebelumnya.
Ketika melakukan dokumentasi rantai makanan pada hewan di laut seperti ikan, burung, kura-kura, serta hewan lainnya, peneliti mendapatkan hasil mengejutkan. Thompson dan timnya menemukan sampah plastik telah mencemari rantai makanan pada spesies laut dan setelah diakumulasi jumlahnya lebih besar dari dugaan sebelumnya.
Melalui penelitiannya Thompson menyimpulkan bahwa setiap satu kilometer persegi laut mengandung empat miliar serat plastik dengan ukuran paling panjang dua hingga tiga centimeter. Namun ketika kita menyelam lebih dalam, maka akan menemukan empat kali lebih banyak sampah plastik dari pada di permukaan air.
Ahli kelautan dari Sea Education Association Kara Lavender Law mengungkapkan keterkejutan perihal temuan ini. “Semakin kita melihat, semakin kita menemukan,” ujarnya. “Saya terkejut bahwa mereka menemukan serat plastik pada setiap bagian di Samudera yang menjadi tempat penelitian.”
(Elisabeth Novina, Sumber: National Geographic)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar