Rencana itu terlalu halus untuk dideteksi secara dini oleh para pemimpin
musyrik Quraisy.Tiba-tiba saja Makkah terasa lengang dan sunyi. Ada banyak
wajah yang terasa perlahan-lahan menghilang dari lingkungan pergaulan. Tapi tidak ada
berita. Tidak ada yang tahu secara pasti apa yang sedang terjadi dalam
komunitas Muslim di bawah pimpinan Rasulullah SAW. Ini memang bukan rencana
yang bisa dirahasiakan dalam waktu lama. Orang-orang musyrik Makkah akhirya
memang mengetahui bahwa kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah. Tapi setelah
proses hijrah hampir selesai.
Maka gemparlah penduduk Makkah. Tapi. Sebuah episode baru dalam sejarah
telah dimulai: sebuah gerakan telah berkembang menjadi sebuah negara, dan
sebuah negara telah bergerak menuju peradabannya; sebuah agama telah menemukan
“orang-orangnya”, setelah itu mereka akan menancapkan “bangunan peradaban”
mereka.
Tanah, dalam agama ini, adalah
persoalan kedua. Sebab yang berpijak di atas tanah adalah manusia maka di
sanalah Islam pertama kali menyemaikan dirinya; dalam ruang pikiran, ruang
jiwa, dan ruang gerak manusia. Tanah hanya akan menjadi penting ketika
komunitas “manusia baru” telah terbentuk dan mereka membutuhkan wilayah
teritorial untuk bergerak secara kolektif, legal, dan diakui sebagai sebuah
entitas politik.
Karena tanah hanya merupakan
persoalan kedua maka tidaklah heran bila pilihan daerah tempat hijrah diperluas
oleh rasulullah SAW. Dua kali sebelumnya, kaum Musimin, dalam jumlah yang lebih
kecil, berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), baru kemudian berhijrah keseluruhan ke
Madinah. Tapi, ketika kaum Muslimin sudah berhijrah seluruhnya ke madinah,
mereka yang sebelumnya telah berhijrah ke Habasyah tidak serta merta dipanggil
oleh Rasulullah SAW. Mereka baru menyusul ke Madinah lima atau enam tahun
kemudian.
Ketika mereka tiba di Madinah,
di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib, kaum Muslimin baru saja memenangkan
perang Khaibar, sebuah peperangan yang sebenarnya mirip dengan sebuah
pengusiran, menyusul pengkhianatan kaum Yahudi dalam perang Khandaq. Berkaitan
dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Aku tidak tahu dengan apa aku
digembirakan oleh Allah; apakah dengan kemenangan dalam perang Khaibar atau
dengan kedatangan Ja’far?”
Dari Gerakan Ke Negara
Hijrah, dalam sejarah dakwah
Rasulullah SAW adalah sebuah metamorfosis dari “gerakan” menjadi negara. Tiga
belas tahun sebelumnya, Rasulullah SAW melakukan penetrasi sosial yang sangat
sistematis, di mana Islam menjadi jalan hidup individu; di mana Islam
“memanusia” dan kemudian “memasyarakat”. Sekarang, melalui hijrah, masyarakat
itu bergerak linear menuju negara. Melalui hijrah, gerakan itu “menegara”, dan
Madinah adalah wilayahnya.
Kalau individu membutuhkan
aqidah maka negara membutuhkan perangkat sistem. Setelah komunitas Muslim
menegara, dan mereka memilih Madinah sebagai wilayahnya, Allah SWT menurunkan
perangkat sistem yang mereka butuhkan. Turunlah ayat-ayat hukum dan berbagai
kode etik sosial, ekonomi, politik, keamanan dan lain-lain. Lengkaplah sudah
susunan kandungan sebuah negara: manusia, tanah, dan sistem.
Apa yang kemudian dilakukan
Rasulullah SAW sebenarnya relatif mirip dengan semua yang mungkin dilakukan
para pemimpin politik yang baru mendirikan negara. Pertama, membangun
infrastruktut negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya.
Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antarkomunitas
darah yang berbeda tapi menyatu sebagai komunitas agama, antara sebagian
komunitas “Quraisy” dan “Yatsrib” menjadi komunitas “Muhajirin” dan “Anshar”.
Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama dengan komunitas lain yang
berbeda, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama,
melalui piagam Madinah. Keempat, merancang sistem pertahanan negara melalui
konsep Jihad fi Sabilillah.
Lima tahun pertama setelah
hijrah kehidupan dipenuhi oleh kerja keras Rasulullah SAW beserta para shahabat
beliau untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidup negara Madinah.
Dalam kurun waktu itu, Rasulullah SAW telah melakukan lebih dari 40 kali
peperangan dalam berbagai skala. Yang terbesar dari semua peperangan itu adalah
perang Khandaq, di mana kaum Muslimin keluar sebagai pemenang. Setelah itu
tidak ada lagi yang terjadi di sekitar Madinah karena semua peperangan sudah
bersifat ekspansif. Negara Madinah membuktikan kekuatan dan kemandiriannya,
eksistensinya, dan kelangsungannya. Di sini, kaum Muslimin telah membuktikan
kekuatannya, setelah sebelumnya kaum Muslimin membuktikan kebenarannya.
Jadi, yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW pada tahapan ini adalah menegakkan negara. Sebagai sebuah
bangunan, negara membutuhkan dua bahan dasar: manusia dan sistem. Manusialah
yang akan mengisi suprastruktur. Sedangkan sistem adalah perangkat lunak,
sesuatu dengan apa negara bekerja.
Islam adalah sistem itu. Oleh
karena itu Islam bersifat given. Tapi, manusia adalah sesuatu yang dikelola dan
dibelajarkan sedemikian rupa hingga sistem terbangun dalam dirinya, sebelum
kemudian mengoperasikan negara dalam sistem tersebut. Untuk itulah Rasulullah
SAW memilih manusia-manusia terbaik yang akan mengoperasikan negara itu.
Selain kedua bahan dasar
negara itu, juga perlu ada bahan pendukung lainnya. Pertama, tanah. Tidak ada
negara tanpa tanah. Tapi, dalam Islam, hal tersebut merupakan infrastruktur
pendukung yang bersifat sekunder sebab tanah merupakan benda netral, yang akan
mempunyai makna ketika benda tersebut dihuni oleh manusia dengan cara hidup
tertentu. Selain berfungsi sebagai ruang hidup, tanah juga merupakan tempat
Allah menitip sebagian kekayaan-Nya yang menjadi sumber daya kehidupan manusia.
Kedua, jaringan sosial.
Manusia sebagai individu hanya mempunyai efektifitas ketika ia terhubung dengan
individu lainnya secara fungsional dalam suatu arah yang sama.
Itulah perangkat utama yang
diberikan untuk menegakkan negara; sistem, manusia, tanah, dan jaringan sosial.
Apabila ke dalam unsur-unsur utama itu kita masukkan unsur ilmu pengetahuan dan unsur kepemimpinan maka keempat unsur
utama tersebut akan bersinergi dan tumbuh secara lebih cepat. Walaupun, secara
implisit, sebenarnya unsur ilmu pengetahuan sudah masuk ke dalam sistem dan
unsur kepemimpinan sudah masuk ke dalam unsur manusia.
Itulah semua yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW selama tiga belas tahun berdakwah dan membina
sahabat-sahabatnya di Makkah; menyiapkan semua perangkat yang diperlukan dalam
mendirikan sebuah negara yang kuat. Hasil dakwah dan pembinaan itulah yang
kemudian tumpah ruah di Madinah dan mengkristal secara sangat cepat.
Begitulah transformasi itu
terjadi. Ketika gerakan dakwah menemui kematangannya, ia menjelma jadi negara;
ketika semua persyaratan dari sebuah negara kuat telah terpenuhi, negara itu
tegak di atas bumi, tidak peduli di belahan bumi manapun ia tegak. Proses
transformasi ini memang terjadi sangat cepat dan dalam skala yang sangat besar.
Tapi, proses ini sekaligus mengajari kita dua hakikat besar: pertama, tentang
hakikat dan tujuan dakwah serta strategi perubahan sosial. Kedua, tentang
hakikat negara dan fungsinya.
Perubahan Sosial
Tujuan dakwah adalah mengejawantahkan
kehendak-kehendak Allah SWT –yang kemudian kita sebut agama, tau syariah- dalam
kehidupan manusia. Syariah itu sesungguhnya
merupakan sistem kehidupan yang integral, sempurna, dan universal. Karena
manusia yang akan melaksanakan dan mengoperasikan sistem tersebut maka manusia
harus disiapkan untuk peran itu. Secara struktural, unit terkecil yang ada
dalam masyarakat manusia adalah individu. Itulah sebabnya, perubahan sosial
harus dimulai dari sana; membangun ulang susunan kepribadian individu, mulai dari
cara berpikir hingga cara berperilaku. Setelah itu, individu-individu itu harus
dihubungkan satu sama lain dalam suatu jaringan yang baru, dengan dasar ikatan
kebersamaan yang baru, identitas kolektif yang baru, sistem distribusi sosial
ekonomi politik yang juga baru.
Begitulah Rasulullah SAW
memulai pekerjaannya. Beliau melakukan penetrasi ke dalam masyarakat Quraisy
dan merekrut orang-orang terbaik di antara mereka. Menjelang hijrah ke Madinah,
beliau juga merekrut orang-orang terbaik dari penduduk Yatsrib. Maka
terbentuklah sebuah komunitas baru di mana Islam menjadi basis identitas
mereka, aqidah menjadi dasar ikatan kebersamaan mereka, ukhuwah menjadi sistem
jaringan mereka, dan keadilan menjadi prinsip distribusi
sosial-ekonomi-politik mereka. Tapi, perubahan itu bermula dari sana; dari
dalam individu, dari dalam pikiran, jiwa dan raganya.
Model perubahan sosial seperti
itu mempunyai landasan pada sifat natural manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai masyarakat. Perubahan mendasar akan terjadi dalam diri individu jika
ada perubahan mendasar pada pola pikirnya karena pikiran adalah akar perilaku.
Masyarakat juga begitu. Ia akan berubah secara mendasar jika individu-individu
dalam masyarakat itu berubah dalam jumlah yang relatif memadai. Tapi, model
perubahan ini selalu gradual dan bertahap. Prosesnya lebih cenderung
evolusioner, tapi dampaknya selalu bersifat revolusioner. Inilah makna firman
Allah SWT “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai
mereka mengubah diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d:11)
Fungsi Negara
Dalam konsep politik Islam,
syariat atau kemudian kita sebut sistem atau hukum, adalah sesuatu yang sudah
ada, given. Negara adalah institusi yang diperlukan untuk menerapkan sistem
tersebut. Inilah perbedaan mendasar dengan negara sekuler, di mana sistem atau
hukum mereka adalah hasil dari produk kesepakatan bersama karena hal tersebut
sebelumnya tidak ada.
Sebagai institusi, bentuk
negara selalu berubah mengikuti perubahan-perubahan struktur sosial dan budaya
masyarakat manusia. Dari bentuk negara kerajaan, parlementer, hingga
presidensiil. Skala negara juga berubah mengikuti perubahan struktur kekuatan
antarnegara, dari imperium besar ke negara bangsa, dan barangkali, yang
sekarang jadi mimpi pemerintahan George W. Bush junior di Amerika: negara dunia
atau global state. Struktur etnis dan agama dalam sebuah negara juga bisa
tunggal dan majemuk.
Oleh karena itu semua
merupakan variabel yang terus berubah, dinamis, dan tidak statis, maka Islam
tidak membuat batasan tertentu tentang negara. Bentuk boleh berubah, tapi
fungsinya tetap sama; institusi yang mewadahi penerapan syariat Allah SWT.
Itulah sebabnya bentuk negara dan pemerintahan dalam sejarah Islam telah
mengalami berbagai perubahan; dari sistem khilafah ke kerajaan dan sekarang
berbentuk negara bangsa dengan sistem yang beragam dari monarki, presidensiil,
dan parlementer. Walaupun tentu saja ada bentuk yang lebih efektif menjalankan
peran dan fungsi tersebut, yaitu sistem khilafah yang sebenarnya lebih mirip
dengan konsep global state. Tapi, efektifitasnya tidaklah ditentukan semata
oleh bentuk dan sistem pemerintahannya, tapi terutama oleh suprastrukturnya,
yaitu manusia.
Namun demikian, kita akan
melakukan kesalahan besar kalau kita menyederhanakan makna negara Islam dengan
membatasinya hanya dengan pelaksanaan hukum, pidana dan perdata, serta etika
sosial politik lainnya. Persepsi ini yang membuat negara Islam lebih berciri
moral ketimbang ciri lainnya. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa syariat Allah
itu bertujuan memberikan kebahagiaan kepada manusia secara sepurna; tujuan
hidup yang jelas, yaitu ibadah untuk mendapatkan ridha Allah SWT serta rasa
aman dan kesejahteraan hidup.
Hukum-hukum Islam dalam bidang
pidana dan perdata sebenarnya merupakan sub-sistem. Tapi, dampak penerapan
syariah tersebut pada penciptaan keamanan dan kesejahteraan hanya dapat muncul
di bawah sebuah pemerintahan yang kuat. Hal itu bertumpu pada manusia. Hanya
“orang kuat yang baik” yang bisa memberikan keadilan dan menciptakan
kesejahteraan, bukan orang yang baik. Bagaimanapun, hanya orang kuat dan baik
yang dapat menerapkan sistem Allah secara sempurna. Inilah makna hadits
Rasulullah SAW “laki-laki mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah
daripada laki-laki mukmin yang lemah.”
Alangkah dalamnya penghayatan
Umar bin Khattab tentang masalah ini ketika berdoa, “Ya Allah lindungilah kami
dari orang yang bertaqwa yang lemah dan tidak bertaqwa yang lemah dan tidak berdaya,
dan lindungilah kami dari orang-orang jahat yang perkasa dan tangguh.”
Inilah sesungguhnya misi
gerakan Islam: melahirkan orang-orang
baik yang kuat atau orang-orang kuat yang baik. [Anis Matta]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar